Investasi Asing di Asean Anjlok 16% pada 2023, Perebutan Modal Diproyeksi Kian Ketat

Bisnis.com,22 Jan 2024, 20:47 WIB
Penulis: Maria Elena
Ilustrasi portofolio investasi/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA – The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mencatat realisasi investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) di Asean mengalami penurunan sebesar 16% pada 2023.

“Asean, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan FDI, melaporkan penurunan 16%,” tulis UNCTAD dalam laporan Global Investment Trends Monitor, dikutip Senin (22/1/2024).

UNCTAD menyebutkan, meski mengalami penurunan, investasi asing langsung untuk sektor manufaktur di kawasan Asean meningkat sebesar 37%.

Beberapa negara yang mencatatkan pertumbuhan FDI yang kuat tersebut, diantaranya Vietnam, Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Kamboja.

Secara keseluruhan, UNCTAD memperkirakan realisasi FDI global mencapai US$1,37 triliun pada 2023, meningkat sebesar 3%.

Perkembangan tersebut dinilai lebih baik dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya mengingat adanya kekhawatiran resesi pada awal 2023. Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi dan suku bunga yang lebih tinggi mempengaruhi investasi global.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pertumbuhan FDI yang melambat, termasuk di Indonesia disebabkan oleh tren suku bunga yang tinggi dan masalah konflik geopolitik.

Selain itu, di dalam negeri, investor juga cenderung menunggu dan melihat bagaimana arah dari tahun politik, termasuk siapa yang akan memimpin dan bagaimana orang-orang yang akan berada di bawah kepemimpinan yang baru nantinya. 

Menurut Yusuf, dengan kondisi tersebut, pertarungan untuk mendapatkan aliran FDI akan semakin ketat karena setiap negara di kawasan Asean berusaha memberikan beragam insentif untuk menarik investor masuk.  

“Meskipun Indonesia melakukan hal yang sama tetapi di setting bersamaan, negara lain punya keunggulan kompetitif yang relatif lebih baik jika dibandingkan dengan Indonesia.  Misalnya bicara indikator ICOR, di mana angka ICOR Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara Asean,” katanya kepada Bisnis.

Yusuf menjelaskan, ICOR yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa bahwa untuk berinvestasi di Indonesia, dibutuhkan biaya yang tinggi dan kondisi atau iklim investasi di Indonesia belum efisien secara umum. 

Sementara itu, untuk kebutuhan dana atau modal, imbuhnya, Indonesia memang masih bergantung pada penanaman modal asing mengingat kecukupan atau ketersediaan dana di dalam negeri relatif terbatas.  

Hal ini tercermin dari rasio tabungan yang relatif kecil di dalam negeri sehingga dana yang bisa digunakan pemerintah juga relatif kecil. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan kebutuhan modal, pemerintah pada akhirnya harus menggunakan instrumen FDI.

“Sehingga mau tidak mau upaya untuk mendorong lebih banyak FDI masuk ke Indonesia itu harus dikembalikan kepada upaya mendorong ekosistem investasi yang favorable buat investor,” jelasnya.

Yusuf menambahkan, regulasi yang memihak pada investor, ketersedian infrastruktur, serta kapasitas institusi dan lembaga yang berkaitan dengan investasi harus disiapkan pemerintah untuk bisa menarik FDI ke dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprianto Cahyo Nugroho
Terkini