Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) terus membuka keran penyaluran kredit kepada berbagai sektor guna mendukung kebijakan pemerintah, termasuk kredit untuk smelter nikel.
EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyebut, konsistensi ini dipegang BCA sebagai lembaga perbankan dan intermediari keuangan yang wajib mendukung kedaulatan perekonomian nasional.
“Saat ini, BCA memiliki portofolio pembiayaan ke debitur yang bergerak pada kegiatan hilirisasi pertambangan, termasuk untuk mendukung ekosistem industri mobil listrik dan energi baru dan terbarukan di Indonesia,” katanya pada Bisnis, Selasa (23/1/2024).
Adapun, dalam menyalurkan kredit, BCA selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dengan manajemen risiko yang disiplin.
“Kami memastikan selalu berkoordinasi dan berkomunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan, serta menerapkan tata kelola perusahaan yang baik,” ujarnya.
BCA juga terus berupaya meningkatkan portofolio kredit keuangan berkelanjutan (sustainable finance) yang hingga September 2023 nilainya tumbuh 11,9% year-on-year (yoy) mencapai Rp193,2 triliun, atau berkontribusi hingga 25% terhadap total portofolio pembiayaan BCA.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia meminta perbankan nasional untuk ikut memberi pembiayaan untuk proyek smelter di dalam negeri.
Bahlil berpendapat minimnya keikutsertaan perbankan nasional itu belakangan membuat proyek-proyek smelter belakangan justru dikuasai oleh asing. Padahal, smelter menjadi infrastruktur strategis dalam upaya pemerintah untuk mendorong hilirisasi komoditas domestik.
Bahkan, pada awal tahun lalu, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) blak-blakan soal alasan seretnya pendanaan untuk pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter mineral logam di dalam negeri
Sekretaris Jenderal AP3I Haykal Hubeis mengatakan, perbankan serta lembaga pinjaman lain di dalam negeri masih cenderung khawatir untuk menempatkan uang mereka pada proyek pemurnian mineral logam.
Padahal, kata Haykal pembangunan smelter itu turut menjadi program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mendukung hilirisasi mineral logam di dalam negeri.
“Karena memang faktor pengalaman, belum ada yang terbukti juga pendanaan di smelter bisa dijadikan referensi mereka untuk memberikan pinjaman,” katanya.
Apalagi, kata Haykal, industri pemurnian dan pengolahan itu relatif cukup baru bagi kreditur. Menurut dia, pemberi pinjaman masih berhati-hati untuk mempelajari potensi atau kemampuan perusahaan pengolahan tersebut untuk mengembalikan pinjaman mereka.
Dia menggarisbawahi, pengembalian modal dari proyek smelter itu relatif panjang hingga rata-rata 17 tahun. Contohnya, PT Smelting Gresik bikinan PT Freeport Indonesia bersama dengan Mitsubishi Materials memiliki estimasi pengembalian modal sekitar 18 tahun sejak proyek itu beroperasi komersial 5 Mei 1999 lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel