Bisnis.com, JAKARTA— Pengamat ekonomi digital mengungkap kemungkinan akar masalah dari kasus kredit macet yang dihadapi platform fintech peer to peer (P2P) lending PT Investree Radhika Jaya (Investree).
Tingkat kredit macet Investree terlihat dari rasio tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) dalam platform mencapai 16,44% per 31 Januari 2023. Angka tersebut meningkat apabila dibandingkan catatan pada 12 Januari kemarin yang mencapai 12,58%.
Rasio TWP90 Investree tersebut menunjukkan tingginya tingkat kelalaian penyelesaian kewajiban kepada lender, yang mana ambang batas dari Otoritas Jasa keuangan (OJK) tidak lebih dari 5%.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan bahwa akar masalah tersebut adalah di sistem skoring kreditnya.
Dia menilai sistem skoring kredit pada platform Investree belum mampu menghasilkan skor yang valid menggambarkan kemampuan bayar seseorang.
“Yang dikejar hanyalah kecepatan penyaluran hanya sedikit mempedulikan kualitas dari calon borrower. Ya akibatnya adalah kasus gagal bayar yang cukup tinggi,” kata Huda kepada Bisnis, Kamis (1/2/2024).
Huda mengatakan hal tersebut membuat lender pun teriak karena akan mempengaruhi uang mereka.
Tingkat keberhasilan kredit di atas 90 hari (TKB90) dalam platform, menurut Huda, pun sebenarnya menunjukkan tren penurunan walaupun sempat membaik.
Selain itu, Huda mengatakan bahwa sejatinya Investree memiliki pendanaan dari JTA, tetapi dananya belum cair. Padahal apabila dana tersebut cair bisa digunakan untuk “nalangin” lender yang mulai menarik investasinya.
“Kita enggak tau harus dalam kondisi apa dan kapan uang pendanaannya cair. Kasus investree pun kan sebenarnya sudah dari beberapa bulan yang lalu, jadi permasalahannya menumpuk sembari menunggu pencairan dana,” ungkapnya.
Pada 31 Januari 2024, Investree mengumumkan pihaknya akan melakukan restrukturisasi bagi debitur yang mengalami kesulitan.
Program tersebut sebagai langkah perbaikan bagi debitur yang berpotensi mengalami kesulitan untuk memenuhi seluruh kewajibannya.
Mewakili Investree, Co-Founder/Director Investree Singapore Pte. Ltd., Kok Chuan Lim mengatakan restrukturisasi dapat dilakukan dengan penyuntikan modal dari investor.
“Kami berharap dapat segera menyelesaikan rencana restrukturisasi dengan penyuntikan ekuitas baru dari investor,” kata Kok Chuan Lim dalam keterangannya dikutip Rabu (31/1/2024).
Manajemen Investree juga menyebut akan berkoordinasi dengan otoritas dan terus mengupayakan keberlanjutan usaha melalui bisnis model yang disesuaikan, pengelolaan risiko yang terukur, permodalan yang memadai, serta penempatan jajaran manajemen profesional yang tepat.
Sebelumnya, manajemen Investree menyebut kredit macet yang dialami platform disebabkan oleh beberapa borrower yang tidak dapat menyelesaikan kewajibannya karena bisnisnya terdampak pandemi Covid-19. Beberapa sektor yang belum bisa pulih antara lain pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) industri garmen dan tekstil, minyak dan gas, serta konstruksi.
Kebijakan restrukturisasi dengan terlebih dahulu menyuntikkan ekuitas dipilih perusahaan setelah CEO yang memimpin Investree di Indonesia selama ini, Adrian A. Gunadi, disetujui pemberhentiannya oleh pemegang saham.
Dalam pengumuman di Harian Bisnis Indonesia edisi Rabu (31/1/2024), disebutkan bahwa pemegang saham mayoritas Investree Radhika Jaya, Investree Singapore Pte. Ltd,. telah menyetujui pemberhentian tersebut.
"Diberitahukan bahwa pemegang saham mayoritas PT Investree Radhika Jaya, Investree Singapore Pte. Ltd., telah menyetujui untuk memberhentikan Sdr. Adrian A. Ginadi dari jabatannya selaku Direktur Utama Investree, efektif sejak 31 Januari 2024," demikian dikutip dari pengumuman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel