Benarkah Terjadi Fenomena 'Makan Tabungan'? Begini Penjelasan LPS

Bisnis.com,07 Feb 2024, 18:12 WIB
Penulis: Fahmi Ahmad Burhan
Karyawati beraktivitas di kantor Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Senin (7/8/2023). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Terjadi pelambatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada 2023 yang ditengarai karena fenomena 'makan tabungan'. Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) pun memberikan catatan atas mencuatnya fenomena tersebut.

Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih mengatakan LPS mencoba meneliti fenomena 'makan tabungan' yang menjadi istilah ketika DPK melesu.

"Kami coba teliti, betul enggak ya kita sudah mulai 'makan tabungan'? Nampaknya enggak ke sana, hanya ada konversi aset, perubahan dari aset di bank ke nonbank," ujar Lana dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook 2024 pada Rabu (7/2/2024).

Menurutnya peralihan dana di bank ke nonbank itu juga terkonfirmasi. "Contohnya ke SBN [surat berharga negara]. Ada beberapa institusi juga mengalihkan investasi atau tabungannya ke investasi lain seperti obligasi," tuturnya. 

Investasi di SBN atau obligasi pun menurutnya meningkat. Apalagi, instrumen investasi tersebut dianggap menarik pada 2023.

Selain itu, menurut Lana, banyak korporasi yang memanfaatkan dana internalnya. Terjadi pula pelambatan pertumbuhan pada jenis simpanan giro.

"Memang ada tren [pelambatan] cukup kuat di giro. Ini kan perusahaan banyak yang pakai [giro] untuk capex [capital expenditure] mereka," ujarnya.

Adapun, seiring dengan pelambatan DPK, likuiditas menurutnya tetap ample. Tercatat rasio alat likuid/noncore deposit (AL/NCD) serta alat likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing berada di level 127,08% dan 28,73% pada Desember 2023, di atas ambang batas.

"Kalau 'makan tabungan' pertumbuhan AL/NCD dan AL/DPK negatif, simpanan dipakai dan tidak ada lagi yang nabung. Sementara, kami lihat likuiditas bagus dan ample," ungkap Lana. 

Pada tahun lalu atau 2023, pertumbuhan DPK memang lesu. Nilai DPK itu tumbuh hanya 3,8% secara tahunan (year on year/yoy) pada Desember 2023, melambat dibandingkan Desember 2022 yang mampu tumbuh di level 9,3% yoy.

Sementara itu, apabila ditarik dalam satu dasawarsa terakhir, sejak 2014 hingga 2023 pertumbuhan DPK memang paling seret terjadi pada akhir 2023.

Pada 2014, pertumbuhan DPK tergolong pesat yakni 12%. Pertumbuhannya melambat setahun setelahnya menjadi 8%. DPK kembali tumbuh pesat pada saat pandemi Covid-19 pada medio 2020, 2021, dan 2022, masing-masing tumbuh 11,3%, 12,1%, dan 9,3%.

Sebelumnya, Senior Economist INDEF Aviliani juga mengatakan tren perlambatan DPK terjadi pada 2023 saat konsumsi kelompok masyarakat menengah ke atas kembali normal. Saat kondisi tersebut, masyarakat menginginkan return dari investasinya di simpanan dengan bunga yang tinggi.

Apabila suku bunga simpanan di bank-bank Indonesia kalah dibandingkan dengan bunga di negara lain, masyarakat akan menyimpan dananya di luar.

"Singapura misalnya bunganya tinggi, jadinya dia [masyarakat] investasi di tempat lain. Dananya akan keluar masuk tergantung return yang diberikan," ujarnya dalam acara Media Literacy Circle dengan tajuk Building Inclusive Economies yang digelar UOB Indonesia pada pertengahan tahun lalu (15/8/2023).

Untuk itu, menurutnya otoritas hingga regulator harus menjaga daya tarik masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan Indonesia. "Pengusaha diajak ngobrol juga, agar dana tak keluar semua," tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini