Apindo Bongkar Biang Kerok Impor Bahan Baku Merosot

Bisnis.com,15 Feb 2024, 16:38 WIB
Penulis: Ni Luh Anggela
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, perlambatan pertumbuhan impor bahan baku penolong di Januari 2024 disebabkan oleh kebijakan restriksi terhadap impor bahan baku penolong.

Hal tersebut yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2023 sebagai perubahan PP No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.

Adapun, BPS mencatat impor bahan baku penolong pada Januari 2024 menurun 3,04% secara tahunan menjadi US$13,48 miliar.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyampaikan, regulasi itu membuat pelaku usaha di sektor manufaktur sulit merealisasikan impor bahan baku sesuai dengan kebutuhan.

“Bukan karena kami tidak butuh impor. Ini sudah menjadi isu bersama di sektor manufaktur sejak tahun lalu,” kata Shinta, Kamis (15/2/2024).

Pengusaha meyakini, jika kebijakan tersebut dicabut, kinerja impor akan lebih merepresentasikan kecepatan pertumbuhan kinerja produksi jangka pendek, utamanya di sektor manufaktur.

Dia menambahkan, ekspansi kinerja industri manufaktur kerat kaitannya dengan kondusivitas dan daya saing iklim usaha dalam negeri, baik secara sektoral maupun cross sectoral.

“Insentif yang diberikan harus dalam bentuk perbaikan daya saing iklim usaha di sektor manufaktur,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Kadin itu menyebut, insentif dapat dilakukan secara cross sectoral dalam bentuk reformasi untuk peningkatan efisiensi beban-beban usaha yang sifatnya universal seperti biaya logistik, energi, suku bunga, hingga beban pembiayaan adopsi teknologi manufaktur, yang memengaruhi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan daya saing ekspor produk manufaktur.

Kinerja manufaktur, lanjut dia, akan semakin cerah jika insentif cross sectoral tersebut dibarengi dengan insentif sektoral. Diantaranya pembenahan daya saing iklim usaha dan produk manufaktur di tiap sub-sektor manufaktur agar lebih berdaya saing dengan produk impor serupa di dalam negeri atau dengan produk ekspor.

Menurutnya, sebagian besar reform yang diperlukan untuk menginsentifkan peningkatan kinerja di sektor manufaktur juga harus berorientasi ekspor agar pertumbuhan kinerja di sektor tersebut dapat maksimal dan tidak tergantung pada animo demand dan kecepatan pertumbuhan daya beli pasar dalam negeri.

“Jadi banyak dan beragam insentif yang dibutuhkan,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rio Sandy Pradana
Terkini