Kenaikan Klaim Bayangi Lonjakan Kinerja Premi Asuransi Kredit

Bisnis.com,29 Feb 2024, 11:00 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Karyawan beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta, Rabu (5/1/2021). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat kinerja asuransi kredit melonjak berdasarkan premi sepanjang 2023.

Adapun premi asuransi kredit naik ke urutan kedua sebagai kontributor premi terbesar untuk industri asuransi umum, setelah properti. Padahal selama tiga tahun terakhir, asuransi kredit berada di bawah lini usaha properti dan kendaraan bermotor. 

“Asuransi kredit sekarang sudah di bawah asuransi properti, sebelumnya kalau kita lihat asuransi properti nomor satu, nomor dua asuransi kendaraan bermotor, nomor tiga selama tiga tahun terakhir ini biasanya asuransi kredit,” tutur Wakil Ketua AAUI untuk Bidang Statistik & Riset Trinita Situmeang dalam konferensi pers di Maipark Ballroom Kuningan, Jakarta, Rabu (28/2/2024). 

Adapun berdasarkan data AAUI, premi asuransi properti mencapai Rp26,48 triliun pada 2023. Angka tersebut naik 1% apabila dibandingkan dengan Rp26,23 triliun pada 2022. Sementara premi asuransi kredit mencapai Rp22,3 triliun yang mana naik 56,2% dibandingkan dengan Rp14,29 triliun pada 2023. 

Pada urutan ketiga, premi asuransi kendaraan mencapai Rp19,47 triliun atau naik 7,4% dibandingkan Rp18,1 triliun pada 2022. Sementara secara total, kinerja premi industri asuransi umum naik sebanyak 15,3% menjadi Rp103,86 triliun dari sebelumnya Rp90,1 triliun pada 2022. 

Klaim Asuransi Kredit Naik

Tak hanya kinerja premi saja, klaim pembayaran asuransi kredit juga mengalami lonjakan sepanjang 2023. Klaim yang dibayar industri asuransi umum terhadap lini bisnis kredit mencapai Rp16,88 triliun, melonjak 33,8% dibandingkan dengan Rp12,6 triliun pada 2022.

Trinita mengatakan pembayaran klaim tersebut paling banyak terjadi pada sektor produktif yakni asuransi mikro dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Menurutnya sektor-sektor tersebut memang sensitif dengan kondisi ekonomi dan perubahan yang terjadi. 

“Seperti terjadi pada pandemi kemarin ini yang masih kita lihat dampak-dampaknya,” kata Trinita. 

Untuk itu, Trinita mengatakan AAUI selalu mengimbau pelaku asuransi umum untuk memperhatikan bagaimana manajemen yang baik untuk lini bisnis tersebut.

Termasuk potensi klaimnya naik ketika usia debitur terus meningkat, serta proses underwriting. Perusahaan asuransi harus menyesuaikan kecukupan premi dan pencadangannya untuk mengatasi adanya potensi lonjakan klaim asuransi kredit. “Jadi, secara teknikalnya perlu mempertimbangkan hal-hal seperti ini,” tuturnya. 

Perbaikan Asuransi Kredit 

Asuransi kredit telah menjadi sorotan beberapa tahun terakhir. Pasalnya industri asuransi umum dan reasuransi cukup tertekan akibat melonjaknya klaim pada lini bisnis asuransi kredit. 

Klaim asuransi kredit meningkat pesat kala pandemi Covid-19 hingga saat ini. Pada kuartal III/2023, AAUI pun mencatat klaim asuransi umum mengalami pertumbuhan sebanyak 12,2% dari Rp27,41 triliun menjadi Rp30,77 triliun.  

Peningkatan tersebut salah satunya ditopang oleh klaim asuransi kredit yang naik 21,2% menjadi Rp9,82 triliun. 

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono pun mengakui asuransi kredit di industri asuransi umum dan reasuransi merupakan produk terbesar ketiga setelah produk asuransi harta benda dan asuransi kendaraan bermotor.  

Dengan kondisi tersebut, Ogi menyampaikan pihaknya pun berupaya untuk memperbaiki lini bisnis asuransi kredit dengan menyusun aturan baru. 

Peraturan baru tersebut pun dituangkan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 20 Tahun 2023 (POJK 20/2023) tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah yang terbit pada akhir tahun lalu.

Dalam POJK 20/2023 tersebut perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah menetapkan besaran premi atau kontribusi dengan ketentuan sesuai dengan risiko yang ditanggung/dikelola, dan manfaat yang dijanjikan. 

Selain itu, besaran premi atau kontribusi juga ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan, dan tidak diterapkan secara diskriminatif. OJK menyampaikan bahwa penetapan premi/kontribusi harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktik asuransi yang berlaku umum. 

Selanjutnya, penetapan premi/kontribusi untuk produk asuransi kredit, asuransi pembiayaan syariah, suretyship, dan suretyship syariah wajib dilakukan dengan memperhitungkan paling sedikit premi/kontribusi murni yang ditentukan berdasarkan paling sedikit data profil risiko dan kerugian jenis asuransi yang bersangkutan untuk minimal lima tahun terakhir, atau dalam hal tidak tersedia. 

“Data profil risiko dan kerugian jenis asuransi yang bersangkutan kurang dari lima tahun terakhir atau informasi yang akurat dari sumber terpercaya untuk dapat memprediksi frekuensi dan besaran risiko [severity] pada objek asuransi atau penjaminan,” tulis POJK 20/2023, dikutip Kamis (28/12/2023). 

OJK menjelaskan perhitungan premi/kontribusi murni berdasarkan data profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) jenis asuransi yang bersangkutan untuk minimal lima tahun terakhir dapat menggunakan data dari internal perusahaan atau eksternal dari pihak lain.

Kemudian, hasil penilaian atas risiko pada masing-masing objek asuransi atau penjaminan, jangka waktu asuransi atau penjaminan. Serta, biaya akuisisi, biaya administrasi, biaya umum lainnya, dan margin keuntungan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini