OPINI: Belajar dari Kasus Tekfin Investree

Bisnis.com,14 Mar 2024, 09:57 WIB
Penulis: Paul Sutaryono
Logo Investree./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan teknologi finansial (tekfin) peer to peer (P2P) lending PT Investree Radhika Jaya (Investree) sedang menjadi buah bibir.

Mengapa? Setidaknya, 16 lender menggugat Investree atas dasar perkara wanprestasi atau gagal bayar. Gugatan itu terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Januari 2024 dengan nomor perkara 43/Pdt.G/2024/PN JKT SEL (Kompas.com, 14/1/24).

Pelajaran berharga apa saja yang dapat dipetik? Bagaimana kinerja tekfin yang kini mencapai 101 (94 konvensional dan 7 syariah) per Desember 2023?

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terbit 7 Februari 2024 menunjukkan penyaluran pinjaman naik 15,04% (YoY) dari Rp19,62 triliun per Desember 2022 menjadi Rp22,57 triliun per Desember 2023.

Akumulasi penyaluran pinjaman pun terbang tinggi 76,21% dari Rp 528,01 triliun menjadi Rp763,14 triliun.Bagaimana kualitas pinjaman? Tingkat keberhasilan bayar sampai dengan 90 hari (TKB 90) turun dari 97,22% menjadi 97,07%.

Artinya, tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) naik dari 2,78% menjadi 2,93% tetapi masih di bawah ambang batas aman 5%.Imbal hasil aset (return on assets/ROA) melejit dari minus 0,72% menjadi 6,86% jauh di atas ambang batas 1,5%.

Imbal hasil ekuitas (return on equity/ROE) melesat dari minus 1,31% menjadi 13,94% di atas ambang batas 12%. Itu berarti, kualitas aset dan ekui-tas makin baik.

Bahkan, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) membaik dari 97,78% menjadi 89,75% tetapi di atas ambang batas 70%—80%. Maknanya, tekfin belum efisien.

PELAJARAN BERHARGA

Lantas, apa saja pela-jaran berharga dari kasus Investree? Pertama, sungguh, tekfin telah memberikan opsi pen-danaan di luar perbankan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Data menunjukkan penyaluran pinjaman pada sektor pro-duktif mencapai 31,83%. Sarinya, pinjaman pada sek-tor non produktif (konsumtif) lebih tinggi yakni 68,17%.

Kedua, selama ini tekfin menggunakan credit scoringdalam menentukan pin-jaman. Credit scoring adalah metode statistik untuk mengevaluasi risiko kredit individu atau perusahaan berdasarkan pada informasi historis tentang perilaku kredit mereka. Buahnya, tekfin dapat memberi persetujuan pinjaman lebih cepat.

Metode itu amat berbeda dari bisnis perbankan yang mengutamakan formula lima C yang meliputi character, capacity, capital, collateral, condition.

C pertama adalah character untuk mengukur seberapa jauh calon debitur memiliki niat baik untuk mengembalikan kredit (pinjaman). C kedua capacity untuk meng-ukur kemampuan mengembalikan kredit atas dasar kemampuan menjalankan bisnisnya. C ketiga capital untuk mengetahui sejauh mana debitur mampu menggunakan modal secara efektif.

C keempat collateral untuk melihat sejauh mana jaminan yang diberikan dapat menutup risiko yang mungkin timbul. Formula C kelima condi-tion untuk meneliti prospek bisnis dikaitkan dengan kondisi saat ini dan mendatang.

Untuk lebih mendalami formula itu, kreditur wajib melakukan wawancara tatap muka langsung dengan calon debitur. Hal itu merupakan salah satu cara manjur dalam mendalami karakter calon debitur. Apakah credit scoring yang tanpa wawancara langsung mampu memahami karakter calon debitur?

Tidak. Inilah data kualitas pin-jaman tekfin. Pinjaman tidak lancar (30—90 hari) menebal dari 7,11% menjadi 8,06% yang meliputi perorangan 95,58% dan badan usaha 4,42%. Pinjaman macet (di atas 90 hari) naik dari 2,78% menjadi 2,93%.

Pinjaman macet meliputi perseorangan 74,61% dan badan usaha 25,39% Ternyata, pinjaman tidak lancar dan pinjaman macet didominasi oleh pinjaman perseorangan.

Adalah benar pinjaman macet (di atas 90 hari) yang mencapai 2,93% masih di bawah ambang batas aman 5%. Namun, perlu dipertim-bangkan supaya tekfin juga melakukan wawancara tatap muka selain credit scoring.

Hal itu merupakan upaya mitigasi risiko pinjaman macet. Ketiga, hal yang mengejutkan adalah mengapa TWP90 Investree bisa mencapai 16,44% yang berarti melebihi dari tiga kali ambang batas 5%?

Apakah telah terjadi kecurangan (fraud)? Apa itu fraud? Salah satu pakar Barry Minkow mengatakan fraud adalah penyamaran suatu kenyataan dengan suatu kebohongan atau sesuatu yang tidak lebih dari kulit kebenaran yang diisi dengan kebohongan. Terdapat teori mengenai teori segitiga fraud.

Donald R. Cressey mengatakan ada tiga elemen yang membu-at orang melakukan fraudyakni motif, kesempatan dan mencari kelemahan yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungannya. Oleh karena itu, menghilangkan kesem-patan merupakan salah satu cara efektif untuk mencegah fraud.

Saat ini, OJK sedang melakukan investigasi apakah ada dugaan pelanggaran atau fraud di Investree. Selain itu, OJK pun sedang memantau tindak lanjut penyelesaian masalah di TaniFunda, iGrow dan Modal Rakyat Indonesia (MRI) (CNBC Indonesia, 8/3/24).

Keempat, sejatinya, aneka kasus tersebut menjadi peri-ngatan dini bagi OJK untuk lebih meningkatkan penga-wasan terhadap tekfin. Hal itu dapat dilakukan melalui pengawasan di tempat (on site) dan pengawasan berda-sarkan pada laporan (offsite) yang disampaikan tekfin kepada OJK.

Namun, tentu saja OJK juga bisa melakukan peningkatan pengawasan melalui regulasi. Bahkan juga bisa melalui deregulasi dengan mempertim-bangkan pelbagai kasus yang telah terjadi, rencana dan pan-dangan ke depan.

Kelima, untuk itu, OJK dapat menggandeng Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech) untuk membahas pengaturan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), manajemen risiko dan rencana siaga (contigency plan) tekfin. Pun OJK dapat mengajak internal audit tekfin menjadi perpan-jangan tangan pengawasan OJK.

Keenam, tekfin pun wajib meningkatkan kompetensi SDM dalam bidang pengawasan, kualitas pinjaman, struktur permodalan dan tingkat efisiensi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini