Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus merosot mendekati Rp16.000 per dolar AS. Rupiah diproyeksi akan terus melemah hingga pertengahan tahun ini.
Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hari ini (3/4/2024) dibuka melemah 0,21% ke Rp15.931 per dolar AS dan ditutup pada level Rp15.920.
Chief Economist Citibank, N.A., Indonesia (Citi Indonesia) Helmi Arman mengatakan melemahnya rupiah terjadi saat dolar AS sedang perkasa terhadap mata uang lainnya. Adapun, perkasanya dolar AS terjadi di tengah ketidakpastian penurunan suku bunga acuan The Fed.
Dengan kondisi tersebut, dia memproyeksikan rupiah akan kembali menguat pada pertengahan tahun ini. "Ke depannya diperkirakan penguatan rupiah terjadi jika The Fed memulai penurunan suku bunganya. Kami Citi memperkirakan The Fed turun Juni," kata Helmi dalam konferensi pers pada Selasa (2/4/2024).
Turunnya suku bunga acuan The Fed itu terjadi dengan asumsi kondisi ketenagakerjaan di AS yang semakin lemah.
Meski begitu, pada akhir tahun kondisi rupiah diproyeksikan akan kembali menghadapi tantangan. "Menjelang akhir 2024 ada faktor risiko lagi, terjadinya pemilu di AS," kata Helmi.
Menurut Helmi, banyak anggapan bahwa mantan Presiden AS Donald Trump akan kembali bertarung dan dengan popularitasnya yang tinggi, akan memenangkan pilpres di AS.
"Menurut analisis Citi, kalau Trump terpilih lagi, maka ini akan positif terhadap kekuatan dolar AS. Kalau dolar AS menguat lagi terhadap mata uang negara lain secara umum, RI harus waspada lagi," jelas Helmi.
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai bahwa pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Pertama, ketidakpastian terkait arah suku bunga global meningkat.
Dalam hal ini, bank sentral utama dunia cenderung berbeda dalam menentukan arah kebijakan moneternya. Misalnya, European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) memberikan sinyal dovish, sementara Swiss National Bank (SNB) telah melakukan pemangkasan suku bunga pada tahun ini.
Di sisi lain, Bank of Japan (BoJ) memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendeknya, dikarenakan inflasi yang berada di atas target.
The Fed pun kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini, meski telah memberikan sinyal bahwa pemangkasan suku bunga tetap terbuka tahun ini.
“Perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent tersebut membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat. Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date,” katanya.
Selain itu, terdapat sentimen di dalam negeri yang memengaruhi fluktuasi rupiah. Josua mengatakan bahwa Indonesia dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Dari sisi fiskal, imbuhnya, terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan kedepannya. Banyak pihak menilai pemerintah mendatang cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan.
Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. Josua menambahkan data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, tapi jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun.
“Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di SBN terus menurun dari awal tahun,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel