Bisnis.com, JAKARTA - Melemahnya nilai tukar rupiah akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat. Pelemahan atau depresiasi mata uang merupakan dihindari oleh setiap negara sehingga sejumlah kebijakan pun dikeluarkan oleh pemerintah guna menguatkan nilai mata uang dalam negeri.
Depresiasi mata uang diartikan sebagai jatuhnya nilai mata uang terhadap nilai tukar mata uang asing.
Jatuhnya nilai mata uang ini dialami oleh Indonesia. Pada awal perdagangan setelah libur Lebaran 2024, nilai tukar rupiah melemah tembus di atas Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 2,07% ke Rp16.175,5 per dolar AS pada Selasa (16/4/2024). Adapun, indeks dolar AS menguat 0,08% ke 106,29.
Analis memberikan pandangan bahwa pelemahan rupiah akan memberikan tekanan kepada Bank Indonesia (BI) untuk meningkatkan intervensinya.
Lantas, apa yang menjadi penyebab terjadinya depresiasi mata uang? Simak penjelasannya dikutip dari Investopedia.
Penyebab Depresiasi Mata Uang
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya depresiasi mata uang, seperti fundamental ekonomi, perbedaan suku bunga, ketidakstabilan politik, serta penghindaran terhadap risiko di kalangan investor.
1. Fundamental ekonomi yang lemah
Negara-negara dengan fundamental ekonomi yang lemah, seperti defisit transaksi berjalan yang sangat serius dan inflasi yang tinggi biasanya memiliki mata uang yang terdepresiasi. Namun, jika dilakukan secara bertahap dan teratur akan mampu meningkatkan daya saing ekspor suatu negara sehingga mampu memperbaiki defisit perdagangannya.
2. Penghindaran terhadap risiko di kalangan investor
Para investor akan merasa takut apabila terjadi depresiasi mata uang yang secara tiba-tiba dan cukup besar sehingga mereka akan menghindari risiko akan nilai mata uang yang semakin terpuruk dan mengambil keputusan untuk menarik investasinya.
3. Perbedaan suku bunga
Kebijakan moneter yang longgar dan inflasi yang tinggi adalah biang kerok terjadinya depresiasi mata uang. Jika terjadinya suku bunga rendah, ratusan miliar dolar menguber imbal hasil yang tertinggi. Perbedaan suku bunga diprediksi akan berpotensi terjadinya depresiasi mata uang. Bank sentral pun akan meningkatkan suku bunga untuk mengatasi inflasi.
4. Biaya input ekspor yang tinggi
Biaya input ekspor yang tinggi disebabkan oleh inflasi, kegiatan ekspor yang dilakukan oleh suatu negara menjadi kurang kompetitif di pasar global sehingga akan terjadi defisit perdagangan dan terjadinya depresiasi mata uang.
5. Retorika Politik
Retorika politik menjadi salah satu penyebab jatuhnya mata uang, seperti pada 2015-2016, Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China yang cekcok tentang nilai mata uang masing-masing negara. Bank Rakyat China (PBOC) melakukan devaluasi mata uang yuan, yaitu sekitar 2% terhadap dolar AS yang tujuannya untuk mencegah penurunan ekspor yang berlanjut.
Pemerintah AS pada 2019 menyebut China melakukan manipulator mata uang dan pejabat Tiongkok melakukan devaluasi mata uangnya secara sengaja sehingga meraup keuntungan yang tidak adil di dalam perdagangan.
Pada tahun 2018, retorika politik AS dengan China berbuntut pada proteksianisme yang menyebabkan perselisihan perdagangan dalam jangka panjang antara dua negara dengan level perekonomian terbesar di dunia.
Dampak Depresiasi Mata Uang
Pelonggaran Kuantitatif dan Jatuhnya Dolar AS
Krisis keuangan secara global terjadi pada tahun 2007-2008, Federal Reserve melakukan tiga putaran pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) sehingga mengakibatkan imbal hasil obligasi yang menyentuh rekor paling rendah.
Pada 25 November 2008, hasil dari putaran pertama QE adalah dolar AS mulai mengalami depresiasi dengan indeks dolar AS (USDX) turun menyentuh lebih dari 7% dalam tiga minggu setelah QE1.
Pada tahun 2010, hasil dari QE2 tidak mengalami perubahan, dolar AS mengalami depresiasi pada tahun 2010 hingga 2011, greenback mengalami titik terendah sepanjang masa terhadap yen Jepang (JPY), dolar Kanada (CAD), dan dolar Australia (AUD).
Volatilitas dan Depresiasi Mata Uang
Depresiasi mata uang yang terjadi secara mendadak akan membuat negara-negara emerging market akan merasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami oleh investor. Contohnya, pada tahun 1997 terjadi krisis di Asia yang disebabkan anjloknya mata uang baht Thailand sehingga menyebabkan devaluasi secara tajam pada sebagian besar mata uang di Asia Tenggara.
Pada 2013, mata uang negara India dan Indonesia melemah secara tajam karena kekhawatiran yang meningkat bahwa Federal Reserve bersiap untuk mengurangi pembelian obligasi dalam jumlah yang besar.
Selanjutnya, Inggris juga mengalami volatilitas ekstrim pada 23 Juni 2016, setelah Inggris memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa sehingga pound Inggris (GBP) mengalami depresiasi lebih dari 10% terhadap dolar AS.
Contoh Negara yang Mengalami Depresiasi Mata Uang
Turki menjadi negara yang mengalami depresiasi mata uang. Pada Agustus 2018, lira mengalami depresiasi sebesar lebih dari 20% terhadap dolar AS. Penyebabnya adalahkekhawatiran yang dialami oleh investor karena menganggap perusahaan-perusahaan Turki tidak bisa melunasi pinjaman yang dibayarkan dalam bentuk mata uang dolar dan euro.
Selanjutnya, penggandaan tarif baja dan alumunium yang dikenakan kepada Turki dan disahkan Presiden Trump membuat lira semakin anjlok.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tidak memberikan izin kepada bank sentral Turki untuk menaikkan suku bunga karena di tahun yang sama Turki tidak memiliki dolar AS yang cukup untuk mempertahankan lira di pasar valuta asing.
Pada September 2018, bank sentral Turki akhirnya menaikkan suku bunga dari 17,75% menjadi 24% tujuannya adalah mengatasi inflasi dan menstabilkan nilai mata uang.
Pada tahun 2020, lira sudah mengalami depresiasi secara signifikan yang disebabkan oleh risiko geopolitik akibat dari kebijakan Turki di Timur Tengah dan negara lain, lira turun ke level paling rendah dalam sejarah pada Oktober 2020, yaitu nilainya turun lebih dari 8,05 terhadap dolar AS atau lira kehilangan nilai sebesar 26% pada tahun 2020 dan lebih dari 50% sejak akhir 2017. (Ahmadi Yahya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel