Opini : Menakar Resiliensi Industri Perbankan Terhadap Gejolak Kurs

Bisnis.com,21 Apr 2024, 07:10 WIB
Penulis: Ardhienus
Ilustrasi perbankan dan sistem keuangan

Bisnis.com, JAKARTA - Gejolak nilai tukar tengah menghampiri perbankan Indonesia. Dampak langsung setidaknya terlihat dari harga saham bank yang langsung merosot. Sebagai gambaran, pada hari pertama setelah bursa dibuka sehabis libur lebaran, harga saham bank besar seperti BRI, BCA dan Mandiri, melorot masing-masing 5,31%, 3,56% dan 2,93%.n

Sumber gonjang ganjing kurs tersebut berasal dari global. Dipicu oleh persoalan inflasi Amerika Serikat (AS) yang masih di atas 2% dan cenderung naik sehingga memudarkan harapan penurunan suku bunga The Fed, dan diperparah eskalasi perang di Timur Tengah antara Iran dan Israel.

Kondisi itu membuat dolar AS menguat terhadap mata uang banyak negara, tidak terkecuali rupiah. Bahkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah menembus Rp16.000 dan sempat berada pada level yang lebih tinggi ketimbang saat krisis 1997/1998.

Sejatinya kegiatan bank memang tidak luput dari paparan berbagai gejolak, baik itu berupa inflasi, suku bunga maupun nilai tukar. Perbankan Indonesia sendiri sudah cukup kenyang menghadapi berbagai gejolak itu seperti gejolak nilai tukar pada 1997/1998 yang menumbangkan cukup banyak bank, sehingga penyelamatan terhadap bank lainnya pun dilakukan melalui program rekapitalisasi.

Namun berkat berbagai penguatan baik dari sisi regulasi, tata kelola maupun pengawasan, perbankan Indonesia relatif sudah cukup kuat dalam menghadapi berbagai gejolak, seperti saat krisis keuangan global 2008, taper tantrum 2013 dan pandemi covid 2020-2022.

Lalu, bagaimana dampak pelemahan rupiah terhadap perbankan? Ada beberapa jalur transmisi gejolak kurs memengaruhi bank. Pertama, melalui posisi eksposur valas yang dipegang bank. Ini dapat dilihat dari rasio posisi devisa netto (PDN), yaitu selisih antara aset valas dengan kewajiban valas dibagi modal. Batas maksimal yang diizinkan Bank Indonesia sebesar 20%.

Kedua, melalui jalur kredit, terutama kredit valas. Debitur bank yang terekspos risiko nilai tukar akan mengalami kesulitan dalam membayar utangnya kepada bank sehingga berpotensi meningkatkan kredit bermasalah (NPL).

Ketiga, melalui jalur penarikan dana pihak ketiga (DPK). Ini bisa terjadi karena nasabah membutuhkan likuiditas rupiah yang lebih banyak untuk membayar kewajiban valas akibat depresiasi rupiah. Penarikan likuiditas rupiah juga dilakukan nasabah untuk menutupi kerugian dari investasi yang diakibatkan melemahnya nilai rupiah, termasuk potensi flight to quality terutama oleh deposan nonresiden.

Meski terpapar gejolak nilai tukar, tetapi saat ini kondisi perbankan dinilai masih cukup kuat. Ada beberapa alasannya. Pertama, rasio PDN perbankan sangat rendah. Secara historis, rasio PDN hanya berkisar antara 1-5%.

Memang ada beberapa bank yang rasio PDN di atas 10%, tetapi itu lebih banyak terjadi pada kelompok kantor cabang bank asing (KCBA) yang memang secara karakteristik lebih banyak beraktivitas pada tresuri dan surat berharga. Rendahnya rasio PDN tersebut karena umumnya bank melakukan natural hedging, dimana sumber dana valas digunakan untuk penyaluran kredit valas (square position).

Kedua, utang luar negeri (ULN) perbankan per Januari 2024 relatif rendah mencapai US$32,64 miliar atau sekitar 6% dari total kewajiban perbankan. ULN tersebut menurun 1,64% dari Januari 2023 yang tercatat US$33,19 miliar.

Ketiga, porsi kredit valas hanya sekitar 15% dari total kredit sehingga diperkirakan tidak signifikan memengaruhi peningkatan NPL. Terlebih bank senantiasa berhati-hati dalam menyalurkan kredit valas dengan memilih debitur yang berorientasi ekspor sehingga debiturnya tidak terekspos risiko gonjang-ganjing kurs.

Keempat, daya tahan perbankan baik itu likuiditas maupun permodalan cukup kuat dalam menghadapi berbagai risiko. Hingga Januari 2024, rasio alat likuid terhadap DPK masih cukup tinggi mencapai 34,80%. Dengan rasio sebesar itu, nasabah tidak perlu khawatir dengan dana mereka. Bank siap apabila nasabah menarik dananya. Sementara rasio permodalan juga cukup tinggi mencapai 27,52% sehingga modal bank akan mampu menyerap risiko yang muncul seperti risiko kredit dan nilai tukar.

Kelima, Bank Indonesia selalu berada di pasar melalui kebijakan triple intervention untuk memperkuat otot rupiah. Bank Indonesia melakukan intervensi secara terukur di pasar spot dan domestic nondelivery forward (DNDF). Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), Bank Indonesia siap membeli SBN yang dijual investor asing agar yield SBN tetap terjaga baik.

Selain itu, instrumen operasi moneter pro market seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SUVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SVBI) juga mampu membuat rupiah tetap menarik bagi investor asing sehingga berkontribusi dalam memperkuat rupiah. Begitu pula dengan cadangan devisa yang masih cukup besar.

Tentu pemerintah tidak tinggal diam. Bersama Bank Indonesia dan otoritas keuangan lainnya, pemerintah terus memagari ekonomi dari berbagai risiko, termasuk mengoptimalkan peran kebijakan fiskal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Novita Sari Simamora
Terkini