Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) dinilai masih harus mempertahankan tingkat suku bunga acuan pada level 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 23 dan 24 April 2024.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky berpendapat bahwa peningkatan BI Rate bukan langkah ideal yang perlu diambil saat ini.
“Peningkatan BI Rate dapat dipertimbangkan sebagai opsi terakhir menimbang potensi risiko domestik yang akan muncul,” katanya, Selasa (23/4/2024).
Riefky menyampaikan, inflasi umum pada Maret 2024 mengalami peningkatan dengan kontributor utama dari kenaikan harga pangan, dipengaruhi oleh tertundanya musim panen yang bergeser ke akhir Maret 2024 hingga April 2024.
Kenaikan harga pangan juga semakin diperburuk oleh meningkatnya permintaan komoditas pangan selama bulan Ramadan.
Menurut Riefky, meski angka inflasi Maret 2024 yang mencapai 3,05% secara tahunan merupakan yang tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, tapi angka tersebut masih berada dalam kisaran target BI sebesar 2,5% hingga 3,5%.
Sementara itu, rupiah tengah menghadapi tekanan mata uang yang sangat besar dan lonjakan arus keluar modal dalam dua minggu terakhir, yang dipicu oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan sentimen ‘high-for-longer’ dari the Fed.
Tercatat, terjadi arus modal keluar dari Indonesia sejak akhir Maret hingga awal April, yang dipicu oleh sentimen bahwa AS berpotensi menahan suku bunga acuannya lebih lama dan mendorong investor mengalihkan portofolionya sebelum periode penutupan pasar keuangan selama periode libur panjang Idulfitri.
Ketika pasar modal Indonesia kembali dibuka pada 16 April 2024, nilai tukar rupiah tercatat sudah berada di atas Rp16.000 per dolar AS dan langsung mengalami arus modal keluar. Perkembangan ini sejalan dengan arus modal keluar yang mencapai US$0,49 miliar pada pekan pertama setelah libur Lebaran.
Sementara, imbuh Riefky, akumulasi modal keluar selama satu bulan terakhir, 18 Maret hingga 18 April, mencapai US$2,11 miliar dan merupakan arus modal keluar bulanan terbesar sejak September lalu.
Kondisi ini juga berimbas pada imbal hasil surat utang pemerintah Indonesia tenor 10 tahun yang meningkat ke level 7,03% dari 6,67% sebulan sebelumnya, mencapai titik tertingginya dalam 5 bulan terakhir
Riefky menilai, intervensi yang dilakukan BI dalam seminggu terakhir mampu menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun, karena besarnya tekanan eksternal, berbagai intervensi BI hanya mampu menstabilkan rupiah di kisaran Rp16.200 per dolar AS.
Rupiah pun tercatat mengalami depresiasi sekitar 2,98% month-to-month atau 5,5% year-to-date terhadap dolar AS.
Riefky mengatakan, depresiasi rupiah tersebut tercatat sebagai salah satu mata uang dengan performa terburuk dibandingkan negara peers dan hanya lebih baik dari Lira Brazil dalam satu bulan terakhir.
Namun demikian, Riefky menilai bahwa BI masih memiliki beberapa alternatif kebijakan yang dapat dioptimalisasi untuk menstabilkan rupiah dengan dukungan cadangan devisa yang memadai.
Jika BI menaikkan suku bunga, maka biaya pinjaman akan meningkat dan dikhawatirkan berdampak negatif terhadap sektor riil.
“Menimbang berbagai hal tersebut, kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00% saat ini,” tutur Riefky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel