Bisnis.com, JAKARTA – Institute For Development of Economics and Finance (Indef) meminta perbankan memangkas besaran Net Interest Margin (NIM) dengan tidak mengerek beban bunga ke konsumen. Langkah memangkas NIM sebagai bentuk dukungan pertumbuhan perekonomian nasional di tengah volatilitas pasar keuangan.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyebut langkah memangkas NIM sehingga memperkecil profit lebih baik dibandingkan menghadapi tingginya risiko nasabah gagal bayar karena tingkat suku bunga dinaikkan sebagai respons melonjaknya BI Rate menjadi 6,25% atau kembali ke level 2016.
“Intinya mencegah terjadinya non performing loan dan menjaga agar kredit tetap menarik [jauh lebih baik dibandingkan memacu NIM dengan melakukan kenaikan bunga ke nasabah],” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (8/5/2024).
Terlebih, Esther juga menyebutkan bahwa program restrukturisasi dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sudah berakhir.
“Pandemi itu dimulai 2020, ini sudah 2024. Jadi ga terlalu cepat juga ga terlalu lama kalau program PEN itu harus berakhir. Tapi untuk restruktur kaitannya harus dilihat lagi dari kebijakan masing-masing bank,” ujarnya.
Pasalnya dia menilai masih ada risiko yang dihadapi oleh perbankan terkait dengan nasabah yang terdampak pandemi.
“Ini tinggal bagaimana kebijakan masing-masing bank lagi, mau diperpanjang masa kredit atau diringankan bunganya. Sebetulnya Net Interest Margin bank masih tinggi. Bank kalau mau ya harus bisa memperkecil NIM-nya, yang penting kan supaya kredit lancar,” tegasnya.
Sebagai informasi, industri perbankan di Indonesia memiliki tingkat NIM yang cukup tinggi di antara negara-negara Asean. Saat ini posisi NIM bulanan perbankan komersial 2023 Indonesia berada di level 4,96%
Direktur Riset Core Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan salah satu penyebabnya adalah secara historis NIM memang sudah terlanjur tinggi, sejak sebelum Reformasi. Alasan pertama, di masa lalu perbankan punya semacam 'privilege' ketika jumlah perbankan masih sedikit dan didorong untuk memperbanyak jumlah bank
Kedua, struktur perbankan di Indonesia meski banknya banyak, tetapi tidak sepenuhnya mendekati persaingan sempurna. Jumlahnya banyak, tapi pelakunya meski mungkin bukan oligopoli, tapi cenderung untuk punya perilaku yang sama
Ketiga, bahwa struktur hubungan antara perbankan dengan Bank Indonesia agak beda dengan kasusnya dengan di Amerika Serikat, misalnya. Di Amerika, perbankan punya dua cara untuk mendapatkan dana, dari masyarakat atau pinjam di Bank Sentral, kemudian mereka harus bersaing mendapatkan untung dengan cara bersaing menyalurkan dana kepada masyarakat.
Sedangkan di Indonesia, struktur hubungannya, perbankan menerima dana dari masyarakat sebagai sumber pendanaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel