Rapor Jeblok Bank Milik Taipan Tahir hingga Chairul Tanjung di Awal Tahun, Ada Apa?

Bisnis.com,09 Mei 2024, 19:50 WIB
Penulis: Fahmi Ahmad Burhan
Pekerja melakukan perawatan gedung di dekat logo Bank Mayapada di Jakarta, Selasa (25/10/2023). - Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah bank milik konglomerat seperti PT Bank Mayapada Internasional Tbk. (MAYA) milik Dato Sri Tahir dan PT Bank Mega Tbk. (MEGA) milik Chairul Tanjung membukukan kinerja laba yang jeblok pada awal tahun atau kuartal I/2024.

Berdasarkan laporan keuangannya, laba bersih Bank Mayapada turun 84,51% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp5,5 miliar pada kuartal I/2024, dibandingkan laba bersih periode yang sama tahun sebelumnya Rp35,51 miliar.

Bank Mega juga mencatatkan penurunan laba 18,55% yoy menjadi Rp802,51 miliar pada kuartal I/2024, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dengan laba Rp985,38 miliar.

PT Bank MNC Internasional Tbk. (BABP) milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo juga telah meraup laba bersih Rp14,84 miliar pada kuartal I/2024, turun 31,98% yoy dibandingkan laba bersih pada kuartal I/2023 sebesar Rp21,83 miliar.

Lalu, PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) milik taipan Anthoni Salim meraup laba bersih Rp32,82 miliar pada kuartal I/2024, turun 44,22% yoy dibandingkan laba bersih tahun sebelumnya Rp58,84 miliar pada kuartal I/2023.

Bahkan, bank digital milik konglomerasi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK), yakni Superbank membukukan kerugian Rp105,06 miliar pada kuartal I/2024. Nilai kerugian ini membengkak tiga kali lipat atau naik 203,97% secara tahunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di angka Rp34,56 miliar. 

Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan, sederet tantangan memang menghinggapi industri perbankan pada awal tahun ini.

"Ada tantangan dari relaksasi restrukturisasi kredit yang tidak diperpanjang, pelemahan mata uang rupiah, dan kondisi ekonomi serta daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya membaik," ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (7/5/2024).

Sebelumnya, Presiden Direktur MNC Bank Rita Montagna mengatakan, bank menghadapi tantangan eksternal seperti fluktuasi suku bunga, termasuk pada awal tahun ini.

Wakil Direktur Utama Bank Mega Diza Larentie juga menyebut, tren kenaikan suku bunga menyebabkan tertekannya biaya dana alias cost of fund (CoF).

“BI [Bank Indonesia] sudah menaikkan suku bunga beberapa kali seiring The Fed. Kemudian, kredit juga agak bertolak belakang, minta bunganya turun, padahal CoF naik,” ujarnya.

Mengacu laporan keuangan, sejumlah bank besutan konglomerat pun mencatatkan penyusutan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) karena beban bunga membengkak seiring dengan tren tingginya suku bunga acuan. 

Bank Mega misalnya mencatatkan penyusutan NII 9,16% yoy menjadi Rp1,38 triliun pada kuartal I/2024. Margin bunga bersih (net interest margin/NIM) Bank Mega juga susut dari 5,42% pada Maret 2023, menjadi 5,13% per Maret 2024.

Bank MNC juga mencatatkan penurunan NII 10,94% yoy menjadi Rp140,53 miliar. NIM bank milik Hary Tanoe juga turun 63 basis poin (bps) ke level 3,54% pada Maret 2024, dari 4,17% pada Maret 2023.

Selain didorong jebloknya kinerja NII, penurunan laba bank-bank besutan konglomerat juga didorong adanya kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment).

Bank Mayapada misalnya menjadi mencatatkan impairment sebesar Rp17,14 miliar pada 3 bulan pertama 2024. Bank Mega juga mencatatkan pembengkakan impairment dari Rp30,41 miliar pada Maret 2023 menjadi Rp50,07 miliar pada Maret 2024.

Bahkan, Superbank mencatatkan impairment yang membengkak 394,41% yoy menjadi Rp34,12 miliar pada kuartal I/2024 dari sebelumnya Rp6,9 miliar pada kuartal I/2023.

Padahal, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai sebenarnya bank milik konglomerat memiliki sejumlah keunggulan dalam mendongkrak kinerja. Bank misalnya mendapatkan dukungan ekosistem dari grup usaha yang membuat aktivitas perbankan lebih aktif.

Dari ekosistem yang luas, bank bisa melempar kredit dengan aman serta menampung dana pihak ketiga (DPK) yang murah.

“Bank konglomerat itu modalnya juga kencang jadi bisa ekspansi apa saja. Lalu, komitmen pemegang saham pengendali kuat. Apalagi, bisnis mereka [konglomerat] banyak, pasti perlu dukungan finansial dan menjadi keharusan maintain kinerja bank," ujarnya.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan, bank-bank besutan konglomerat juga mempunyai keunggulan dari sisi NIM yang tinggi.

"Untuk bank-bank konglomerasi, umumnya mereka punya NIM yang tinggi," kata Piter.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Denis Riantiza Meilanova
Terkini