Bisnis.com, JAKARTA - Risiko kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) sektor perbankan diperkirakan meningkat usai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menghentikan kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 pada Maret 2024.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan adanya kemungkinan kenaikan rasio NPL terjadi karena pemburukan kredit restrukturisasi, utamanya setelah kebijakan relaksasi restrukturisasi Covid-19 dihentikan.
Sebagai informasi,OJK mengakhiri kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 pada Maret 2024. Awalnya restrukturisasi kredit Covid-19 direncanakan berakhir pada Maret 2023, tetapi OJK telah memperpanjang restrukturisasi Covid-19 secara terbatas, yakni kepada tiga segmen dan wilayah tertentu saja hingga Maret tahun ini.
OJK tidak memperpanjang kebijakan ini karena hingga akhir 2023 Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mempertahankan regulasi, seperti restrukturisasi dalam konteks Covid-19.
“Namun demikian, sisa kredit restrukturisasi Covid-19 sudah jauh di bawah total kredit restrukturisasi saat awal pandemi.Per Maret 2024 mencapai Rp228 triliun atau 3,14% dari total kredit,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Minggu (19/5/2024).
Kemudian, Loan at Risk (LaR) perbankan pada Maret 2024 sebesar 11,1%, sudah menurun makin mendekati level sebelum pandemi yaitu di kisaran 9-10%.
Berdasarkan laporan OJK, NPL gross per Maret 2024 berada di level 2,25% yoy, turun dibandingkan Maret 2023 yang mencapai 2,49%. Sementara, NPL net mencapai 0,77% per Maret 2024, lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya 0,72%.
Adapun, kata Dian, kenaikan NPL tersebut secara umum telah dimitigasi oleh bank melalui pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sehingga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap permodalan bank.
Di sisi lain, jika dilihat secara historis, NPL saat ini tergolong lebih rendah dibandingkan saat pandemi yang mencapai di atas 3%, meskipun suku bunga pada saat itu jauh lebih rendah.
Artinya, kata Dian, risiko kredit yang tercermin dari NPL tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga, tetapi juga oleh kondisi makroekonomi secara keseluruhan, terutama pertumbuhan ekonomi domestik.
Sebelumnya, OJK juga telah memproyeksikan berakhirnya relaksasi akan menjadi tantangan bank dalam mengelola risiko kredit.
Meski sudah berakhir, OJK tidak melarang bank untuk melanjutkan restrukturisasi dengan ketentuan normal. "Jadi, tidak ada ketentuan yang sifatnya regulasi," ucap Dian dalam Perbanas Seminar Economic Outlook 2024.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan mengatakan dengan akan berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 dari OJK, bank harusnya sudah lebih siap menanggulangi.
"Bank perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kredit," katanya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel