AAJI Harap OJK Revisi Aturan Unit Linked Pasca Bisnis Terus Terkontraksi

Bisnis.com,29 Mei 2024, 18:26 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Karyawan memotret logo-logo asuransi jiwa di Jakarta, Minggu (15/10/2023). - Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengungkap terkontraksinya kinerja produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit linked perlu menjadi perhatian. 

Dalam catatan AAJI, premi unit linked masih terus menunjukan tren penurunan hingga kuartal I/2024 setelah OJK melakukan perombahan regulasi yang efektif sejak Maret 2023. Pemi yang diperoleh dari produk unit linked mencapai Rp19,22 triliun pada kuartal I/2024. Angka tersebut turun 16,4% secara tahunan (year on year/yoy) apabila dibandingkan pada kuartal I/2023 yang mencapai Rp22,98 triliun. 

Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon mengungkap pihaknya akan berdiskusi dengan para pemimpin industri asuransi jiwa untuk membahas hal tersebut, yang mana ujungnya hasil diskusi tersebut akan diteruskan kepada regulator. 

“Kami saat ini akan diskusi dengan para CEO industri asuransi jiwa, ini bagaimana menyikapi ini [unit linked] ujung-ujungnya hasil diskusinya ini akan dibawa ke OJK [Otoritas Jasa Keuangan],” kata Budi ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2024). 

Budi berharap aturan terkait dengan penyesuaian PAYDI dapat direvisi bersama-sama untuk melihat kondisi terkini di pasar. Seperti halnya mana aturan yang harus dipertahankan atau diperkencang, serta mana yang sudah bisa dilonggarkan. Budi menyebut salah satu bagian yang menjadi poin diskusi terkait dengan aturan perekaman sebelum membeli produk unit linked. 

“Itu bagian yang mungkin akan kami diskusikan,” katanya. 

Bukan tanpa alasan, Budi mengungkap apabila produk tradisional terus mendominasi juga akan berdampak pada industri asuransi jiwa. Menurutnya premi produk tradisional membutuhkan kehati-hatian yang lebih tinggi dalam pengelolaannya, dibandingkan unit-linked. Terlebih karena risiko investasinya menjadi risiko perusahaan. 

“Jadi kalau dominan pada produk tradisional, bayangkan saja 60 perusahaan asuransi jiwa dominan tradisional. Jadi ini harus kita cermati, dan dibicarakan ke OJK,” ungkapnya. 

Selain itu, Budi melihat bahwa kebutuhan masyarakat atas produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi pun masih tinggi. Meskipun angkanya turun, sejak diberlakukan aturan yang memperketat, masih ada nasabah yang membeli produk tersebut. 

Dia menambahkan keluhan terkait dengan produk unit linked juga sudah mulai berkurang. Ini juga didukung menurunnya klaim surrender pada kuartal I/2024, di mana turun 22,4% yoy menjadi Rp20,80 triliun dari sebelumnya Rp26,80 triliun pada kuartal I/2023. 

“Kalau dahulu kan hard complainnya karena investasi turun, bukan karena kami, tapi marketnya yang sedang turun. Sekarang kan desainnya investasi ke pasar modal lebih terbatas, banyak di fixed income,” ungkapnya. 

Secara keseluruhan, AAJI mencatat pendapatan premi industri asuransi jiwa pada kuartal I/2024 meningkat 0,9% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp46 triliun. Adapun pada kuartal I/2023, pendapatan premi yang dibukukan industri asuransi jiwa mencapai Rp45,6 triliun. Dari sisi produk, pendapatan premi asuransi tradisional masih menunjukan tren peningkatan.

Adapun pada periode Januari—Maret 2024, premi asuransi tradisional mencapai Rp26,77 triliun, yang mana naik dibandingkan periode yang sama pada kuartal I/2023 yakni Rp22,62 triliun. Sementara pendapatan premi yang berasal dari premi unit linked tercatat sebanyak Rp19,22 triliun. Angka tersebut turun 16,4% yoy apabila dibandingkan pada kuartal I/2023 yang mencapai Rp22,98 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini