Posisi China Terhimpit, Bersiap Banyak Relokasi Pabrik ke Indonesia

Bisnis.com,05 Jun 2024, 08:11 WIB
Penulis: Afiffah Rahmah Nurdifa
Seorang pekerja berdiri di samping tangki penyimpanan minyak di Pilipinas Shell Petroleum Corp. Shell Import Facility Tabangao (SHIFT) di Batangas City, Filipina. Minyak mentah melemah pada Rabu (16/8/2023) menyusul kekhawatiran terhadap ekonomi China yang berpotensi mengikis permintaan./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA- Indonesia berpotensi menjadi sasaran relokasi pabrik dari China yang tengah berencana mendiversifikasi rantai pasok, sekaligus melengkapi basis manufaktur eksisting di negara tersebut. 

Bahkan, riset Jones Lang LaSalle (JLL) memproyeksi dalam satu dekade ke depan akan ada akselerasi rantai pasok dunia yang membidik wilayah Asia Tenggara dan India sebagai lokasi produksi. 

Hal ini didorong pertimbangan perusahaan manufaktur yang memcari lokasi dan opsi pembiayaan lebih baik untuk memanfaatkan volatilitas rantai pasokan. Beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan China mulai menjajaki relokasi manufaktur. 

Penambahan basis manufaktur di luar China dianggap penting untuk mencegah gangguan terhadap rantai pasokan dengan mengurangi ketergantungan terhadap satu negara.

Country Head dan Head of Logistics and Industrial, JLL Indonesia, Farazia Basarah mengatakan demand yang lebih besar terhadap lahan industri, ditambah upah dan biaya bahan baku yang meningkat juga menjadikan harga tanah lebih mahal di China. 

"Ini membuat Indonesia menjadi alternatif yang lebih cost-effective," terangnya dalam siaran pers, Rabu (5/6/2024). 

Terlebih lagi, faktor-faktor seperti tenaga kerja ahli, infrastruktur, regulasi lingkungan, kedekatan dengan pemasok dan pelanggan, serta stabilitas politik berkontribusi besar untuk kesuksesan dan keberlanjutan pabrik dalam jangka panjang. 

JLL merekomendasikan Perusahaan untuk cermat dalam mengevaluasi faktor-faktor non-biaya atau kualitatif ini karena sangat penting untuk membuat keputusan yang tepat dan membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan di masa depan.

Head of Manufacturing Strategy, Asia Pasific, JLL, Michael Ignatiadis, menyatakan strategi China tersebut telah berdampak di negara tujuan, terutama di Asia Tenggara dan India. 

Pemerintahan di kawasan tersebut menangkap peluang dan memberikan kebijakan yang mendukung industri manufaktur lokal mereka dengan memprioritaskan ketersediaan lahan dan akses ke sumber modal.

"Kami melihat bahwa Kawasan Asia Tenggara dan India dapat saling melengkapi dengan kekuatan produksi yang sudah ada dari China," ujar Michael. 

Dalam hal ini, Indonesia menjadi salah satu yang potensial lantaran fondasi ekonominya yang kuat dan mampu bangkit menjadj hub untuk manufaktur besar. 

Apalagi, RI memiliki populasi yang besar dan banyaknya jumlah tenaga kerja, biaya yang menarik, dan berbagai insentif yang ditawarkan di negara ini menjadikannya tujuan investasi manufaktur yang menarik.

"Namun menurut kami, agar perusahaan dapat merespons pergeseran rantai pasokan ini dengan cepat, mereka perlu mengadopsi pola pikir yang fleksibel terhadap pemilihan lahan dan opsi pendanaan," tuturnya. 

Pada 2023, Indonesia mengalami peningkatan penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) dalam bidang manufaktur, dengan peningkatan sebesar US$4 miliar sehingga mencapai total US$28,7 miliar. 

Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang signifikan untuk industri-industri utama seperti elektronik dan perlengkapan, bahan kimia dan farmasi, serta kendaraan bermotor dan transportasi lain.

Pemerintah Indonesia sudah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendukung dan menarik investasi dalam bidang manufaktur. Beberapa inisiatif utama antara lain insentif untuk kendaraan bermotor tenaga baterai, insentif pajak investasi melalui Kawasan Ekonomi Khusus, dan strategi “Making Indonesia 4.0” yang menargetkan untuk mengintegrasikan teknologi manufaktur mutakhir. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Kahfi
Terkini