Rupiah Anjlok ke Rp16.400, DPR: Jangan Bilang Kita Baik-baik Saja!

Bisnis.com,19 Jun 2024, 01:00 WIB
Penulis: Lukman Nur Hakim
Pegawai menunjukan mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di Dolar Asia Money Changer, Jakarta, Senin (18/7/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta adanya langkah antisipasi yang dilakukan pemerintah imbas semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS

Berdasarkan data Bloomberg pada Jumat (14/6/2024), rupiah menutup perdagangan dengan turun 0,87% atau setara 142 poin ke posisi Rp16.412 per dolar AS. Sementara itu indeks dolar terpantau naik 0,34% ke level 105,55.

Melihat hal ini, Said mengatakan bahwa posisi rupiah malah minus 5,25% dibandingkan dengan tahun lalu 

"Kecenderungan rupiah loyo disebabkan situasi eksternal dan internal. Belakangan investor menarik diri, khususnya dalam perannya sebagai buyer di Surat Berharga Negara [SBN]," kata Said dalam keteranganya, Selasa (18/6/2024).

Said menyampaikan situasi pelemahan nilai tukar rupiah yang dihadapi saat ini tidak mudah dan harus menjadikan keadaan itu sebagai national bonding. 

Jika keadaan ekonomi ini semakin memburuk, lanjutnya, yang akan menerima resiko paling awal adalah rakyat Indonesia sendiri bukan kalangan elit.

“Saya benar benar mengharapkan pemangku kebijakan untuk tidak membuat komunikasi publik, bahwa kita sedang baik-baik saja,” ujarnya.

Selain itu, Said meminta para pemangku kebijakan fiskal dan moneter untuk memperkuat kebijakan struktural perekonomian nasional. 

Pertama, memastikan tata kelola devisa, terutama devisa hasil ekspor sumber daya alam berjalan optimal untuk memperkuat cadangan devisa. 

“Berikan kebijakan insentif dan sanksi yang sepadan untuk menopang tata kelola devisa nasional,” ucap Said.

Lalu, poin kedua terus dilakukannya reformasi pada sektor keuangan agar lebih inklusif, dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh. 

"Sebab aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada kuartal II/2024 secara neto tercatat sebesar US$3,3 miliar," jelasnya,. 

 Ketiga, perketat kebijakan impor terutama pada sektor sektor yang makin menggerus devisa, dan memukul sektor industri dan tenaga kerja. 

“Importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek untuk menambal defisit pangan dan energi yang terus berlanjut,” tuturnya. 

Lebih lanjut, Said juga meminta pemerintah perlu memastikan SBN sebagai instrumen yang menarik bagi investor asing, dengan yield yang moderat agar tidak menjadi beban bunga. 

Pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN. Pasalnya, SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan penting bagi kelangsungan APBN. 

Untuk poin kelima, Said ingin pemerintah perlu memperluas dan makin kreatif untuk menopang kebutuhan pembiayaan ditengah likuiditas nasional dan global yang makin ketat dan terbatas. 

“Libatkan berbagai organisasi masyarakat dan asosiasi pengusaha yang menghimpun likuiditas besar ikut berpartisipasi dengan saling menguntungkan,” sebutnya.

Kemudian untuk poin keenam, Bank Indonesia (BI) perlu memastikan kebijakan yang bertujuan mengurangi ketergantungan negara terhadap dolar AS dapat terlihat hasilnya.

"Pemerintah dan Bank Indonesia perlu antisipasi kebutuhan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, BUMN, dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging sehingga tidak makin membebani sektor keuangan,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Feni Freycinetia Fitriani
Terkini