Bisnis.com, JAKARTA — Kartu kredit bank mulai terdesak oleh laju aplikasi paylater atau “membeli dulu, membayar kemudian” (buy now, pay later) yang makin gemerincing. Lantas, bagaimana strategi jitu bank dalam menghadapi serangan paylater?
Bagaimana kinerja kartu kredit? Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Pasar Keuangan (SPIP) yang diterbitkan Bank Indonesia pada 21 Juni 2024 menunjukkan jumlah kartu kredit naik 4,36% (YoY) dari 17,42 juta unit per April 2023 menjadi 18,18 juta unit per April 2024.
Volume transaksi kartu kredit naik 19,33% dari 30,47 juta menjadi 36,36 juta. Volume transaksi itu meliputi transaksi tunai yang naik 12,28% dari 342.000 transaksi menjadi 384.000 transaksi dan volume transaksi belanja yang naik 19,42% dari 30,13 juta transaksi menjadi 35,98 juta transaksi.
Nilai transaksi kartu kredit naik 11,69% dari Rp30,79 triliun menjadi Rp34,39 triliun. Nilai transaksi itu meliputi nilai transaksi tunai yang naik 11,42% dari Rp578 miliar menjadi Rp644 miliar. Sebaliknya, nilai transaksi belanja pun naik 11,68% dari Rp30,21 triliun menjadi Rp33,74 triliun. Itulah sekilas kinerja kartu kredit hingga April 2024.
Apa itu paylater? Paylater adalah istilah pada transaksi pembayaran barang atau jasa. Institusi penyedia layanan akan memberikan dana talangan kepada peminjam untuk membayar transaksi barang atau jasa yang dibutuhkan (Otoritas Jasa Keuangan/OJK).
Kini terdapat beberapa aplikasi paylater. Sebut saja, Shoppee Paylater (SPayLater), GoPay Later, Kredivo, Akulaku PayLater, Home Credit, Indodana, Traveloka PayLater, dan Atome.
Paylater amat mirip dengan kartu kredit, tetapi tanpa kartu. Ada beberapa perbedaan yang nyata. Katakanlah, pengajuan paylater melalui daring (dalam jaringan) sedangkan kartu kredit melalu luring (luar jaringan). Suku bunga paylater sekitar 2,9%—4%.
Bandingkan dengan kartu kredit dengan suku bunga pembelanjaan sekitar 1,75% dan suku bunga pengambilan uang tunai 1,75% per bulan. Plus biaya pengambilan uang tunai sekitar 6% dari jumlah penarikan, biaya keterlambatan pembayaran sekitar 1%, biaya pelampauan batas kredit sekitar Rp150.000 dan biaya pergantian kartu sekitar Rp100.000.
Lantas, apa saja strategi jitu bank dalam menghadapi gempuran paylater?
Pertama, tentu saja bank harus melakukan adaptasi (adaptif) dalam menghadapi perubahan model bisnis (business model) dalam layanan transaksi keuangan. Dengan bahasa lebih bening, bank wajib menerapkan layanan digital (digital banking) dalam menghadapi disrupsi teknologi informasi.
Selama ini, bank sudah ditantang dengan serbuan teknologi finansial (tekfin) terutama peer-to-peer (P2P) lending yang mampu merebut pangsa pasar pinjaman kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang tak terlayani bank (unbankable).
Kemudian, bank disergap pula oleh dompet elektronik (e-wallet) seperti DANA, OVO dan Go-Pay. Nah, kini bank mulai tertekan oleh derasnya arus paylater dengan layanan yang serba kilat.
Kedua, dalam tulisan di Bisnis Indonesia, 30 September 2023, penulis sudah mengutarakan bahwa bank harus berani melakukan transformasi (perubahan besar-besaran) kartu kredit dengan menawarkan model bisnis anyar dan segar.
Bahkan kini bank papan atas telah mulai mempertimbangkan untuk menerbitkan paylater sendiri. Namun, ada beberapa bank mempunyai preferensi untuk menggandeng mesra pihak ketiga dalam melayani pinjaman digital melalui paylater.
Bagaimana tanggapan OJK? Pada Pasal 18 Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2018, OJK menyambut baik upaya bank untuk menerbitkan paylater dengan beberapa syarat. Satu, memiliki peringkat profil risiko dengan peringkat 1 atau 2 berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank periode penilaian terakhir.
Dua, memiliki infrastruktur teknologi informasi dan manajemen pengelolaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai. Tiga, termasuk dalam kelompok bank umum berdasarkan kegiatan usaha yang paling sedikit dapat melakukan kegiatan usaha layanan perbankan elektronik.
Oleh karena itu, beberapa bank papan atas telah meluncurkan fasilitas paylater. Katakanlah, BCA melalui aplikasi myBCA mulai 30 September 2023, Bank Mandiri melalui Livin’ Paylater, DBS melalui Digibank Paylater, Allo Bank melalui Allo PayLater. BNI memilih bekerja sama dengan Shopee Paylater sedangkan BRI melalui Paylater Ceria. CIMB Niaga bakal menyusul segera.
Ketiga, kehadiran bank papan atas dengan telah memiliki fasilitas paylater tersebut menegaskan bahwa bank tak mau menyerah dengan aneka tantangan perubahan model bisnis layanan perbankan digital. Mulailah adu kuat paylater bank melawan aplikasi paylater. Ke depan, bank besar lainnya akan mengikuti tren ini.
Keempat, siapa bakal menjadi pemenang dalam pertarungan paylater? Modal menjadi kuncinya. Sebab, modal adalah bantalan (buffer) bagi bank dan lembaga keuangan dalam menyerap potensi risiko kredit, pasar, operasional dan likuiditas.
Kelima, menurut OJK, total utang masyarakat di paylater tembus Rp6,13 triliun per Maret 2024 atau meningkat 23,90% dibandingkan pada Maret 2023. Pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) 3,15% (CNN Indonesia, 14/5/24).
Artinya, nasabah wajib lebih hati-hati dalam bertransaksi dengan paylater.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel