Alert! Utang Valas Beberapa Bank dalam Ambang Batas ‘Tidak Aman’

Bisnis.com,24 Jul 2024, 18:27 WIB
Penulis: Hendri T. Asworo
Nugroho Joko Prastowo, Kepala Grup Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia./Bisnis-Hendri T Asworo

Bisnis.com, JAKARTA – Utang luar negeri atau denominasi valuta asing (valas) beberapa bank dalam ambang batas tidak aman. Hal itu menjadi salah satu alasan Bank Indonesia melonggarkan Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) mulai awal bulan depan.

Di tengah kenaikan suku bunga acuan menjadi 6,25%, BI berupaya menjaga kecukupan likuiditas perbankan. Salah satunya dengan memberikan Kebijakan Insentif Likuiditas Moneter (KLM).

KLM ini diberikan pada bank yang melakukan pembiayaan sektor prioritas, seperti hilirisasi minerba dan nonminerba, perumahan, pariwisata, otomotif, perdagangan, listrik, gas, dan jasa keuangan.

Selain itu, memberikan insentif rasio pembiayaan inklusif makroprudensial kepada bank yang memiliki portofolio kredit di atas 30%, seperti pembiayaan ultra mikro (UMi) dan usaha kecil. BI pun memberikan insentif kepada sektor hijau sebesar 0,5%.

Semua insentif itu diberikan dengan pengurangan kewajiban penempatan dana di Bank Indonesia. Bank dapat memanfaatkan likuiditas itu untuk pembiayaan ke sektor riil. Bank sentral mengklaim nilai duit yang dikembalikan ke bank setara Rp256 triliun hingga posisi Juni 2024.

BI pun akan memperluas KLM terhadap sektor penunjang tersebut mulai awal Agustus 2024. Likuiditas yang dikembalikan ke bank total menjadi Rp280 triliun dengan perluasan itu.

Salah satu pertimbangan perluasan pelonggaran moneter itu karena ada gap kebijakan. “Saat ini kebijakan makropudensial countercyclical untuk pengelolaan pendanaan luar negeri, termasuk utang luar negeri [ULN] masih terbatas,” kata Nugroho Joko Prastowo, Kepala Grup Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, dalam diskusi seperti dikutip, Rabu (24/7/2024).

Permasalahan lainnya BI melihat belum terintegrasi aspek pengelolaan risiko, beberapa bank sudah terhambat dengan utang luar negeri jangka pendek yang tinggi. “Beberapa bank dengan KCLN [kantor cabang luar negeri] serta kontribusi kredit valas tinggi memiliki ULN jangka pendek mendekati 30%,” terangnya.

Kepada Bisnis, Joko menyampaikan bahwa bank yang selama memiliki utang luar negeri mendekati 30% dari liabilitas, tetapi memerlukan pendanaan valas masih punya ruang. Pasalnya, kewajiban kantor cabang luar negeri yang diperoleh dan disalurkan di luar nageri tidak dimasukkan dalam perhitungan rasio tersebut.

“Terus nanti ada siklikalitasnya plus minus 5% tergantung kondisi. Artinya, rasionya bisa diturunkan ke 25% atau dinaikkan ke 35% tergantung hasil asesmennya. Sekarang tetap dipertahankan di 30% dulu,” tuturnya.

Saat ditanya berapa bank yang mendekati ambang batas utang luar negeri 30% terhadap liabilitas, dia menyebutkan tidak banyak. “Bank yang punya KCLN kan enggak banyak ya, hanya beberapa bank besar,” ujarnya.

Kebanyakan bank yang memiliki cabang di luar negeri adalah milik negara, seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

Berdasarkan data Bank Indonesia per Mei 2024, utang luar negeri jangka pendek untuk sektor swasta tercatat US$47,29 miliar. Angka tersebut setara 11,61% dari total utang luar negeri sebesar US$407,34 miliar.

Tren utang luar negeri jangka pendek terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Dari posisi April 2024 sebesar US$51,63 miliar menjadi US$57,59 miliar. Kenaikan terbesar pada pinjaman Bank Indonesia dari posisi April 2024 sebesar US$5,5 miliar menjadi US$10,27 miliar pada Mei 2024.

Adapun utang luar negeri jangka panjang kenaikan tidak sebesar pinjaman tenor pendek. Secara komulatif, nilainya pada Mei 2024 mencapai US$349,75 miliar dari bulan sebelumnya US$347,19 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hendri T. Asworo
Terkini