Bank Digital dan Industri Keuangan Indonesia yang Rentan Terhadap Serangan Siber

Bisnis.com,29 Jul 2024, 08:59 WIB
Penulis: Arlina Laras
Peluncuran Bank Saqu besutan Astra Group - WeLab perpada tahun lalu./Bisnis-Fahmi A. Burhan

Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan sektor keuangan Indonesia terus menjadi target serangan siber yang semakin canggih oleh para peretas alias hecker.

Deputi Direktur Digitalisasi, Financial Center, dan Transformasi Perbankan DPNP OJK, Zulkifli Salim, menjelaskan kejahatan siber semakin mengincar industri keuangan karena potensi keuntungan yang besar.

Menurut laporan Cyber Crime Statistic, Indonesia menempati posisi ketiga dunia dalam hal pelanggaran data (data breach) dengan jumlah mencapai 13,2 juta akun pengguna internet pada tahun 2022. Posisi pertama ditempati Rusia dengan 22,3 juta akun, diikuti oleh Prancis dengan 13,8 juta akun. Amerika Serikat dan Spanyol masing-masing berada di posisi keempat dan kelima dengan 8,4 juta dan 3,9 juta akun. Kelima negara ini menyumbang lebih dari separuh total pelanggaran data global pada tahun tersebut.

“Indonesia masuk ke dalam negara yang reputasinya kurang baik dalam menjaga data,” ujar Zulkifli dalam acara Power Talk Financial bertema 'Big Data & AI: Era Baru Membangun Ekosistem Perbankan Digital' pada pekan lalu (25/7/2024).

OJK juga menyoroti rendahnya tingkat literasi digital sebagai tantangan utama dalam transformasi digital di Indonesia. Pada tahun 2022, indeks literasi digital berada pada kategori "sedang" dengan skor 3,54 dari skala 1 sampai 5, sementara skor digital safety hanya 3,12. “Ini adalah pekerjaan rumah kita, sehingga banyak kasus rekayasa sosial (social engineering) terjadi akibat rendahnya literasi digital,” ungkapnya.

Sepanjang 2023, sektor keuangan berada di posisi ketiga dalam jumlah notifikasi indikasi insiden siber yang dikirimkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Meskipun demikian, ekonomi digital Indonesia diproyeksikan akan tumbuh delapan kali lipat menjadi Rp4.531 triliun pada tahun 2030, dengan sektor e-commerce diperkirakan mendominasi sebesar Rp1.900 triliun atau sekitar 34%.

Lebih lanjut, transaksi di e-commerce seperti Shopee hingga Tokopedia pada 2023 telah mencapai Rp454 triliun dan diproyeksikan naik 7,2% menjadi Rp487 triliun pada akhir tahun ini. Selain itu, transaksi perbankan digital mencapai Rp58,5 ribu triliun pada tahun 2023 dan diperkirakan meningkat 9,1% menjadi Rp63,8 ribu triliun pada tahun 2024. Penggunaan uang elektronik juga meningkat dari Rp836 triliun pada tahun 2023 menjadi Rp1.051 triliun pada akhir tahun nanti, naik 25,8%.

Ekspansi Layanan Pinjaman Berbasis Internet oleh Bank Digital 

Di tengah besarnya ekonomi berbasis internet, bank digital di Indonesia mulai memasuki fase baru dengan memperluas layanan mereka ke dalam berbagai segmen yang berpotensi besar. Bank Saqu, layanan bank digital dari PT Bank Jasa Jakarta (BJJ) yang dimiliki oleh Astra Financial dan WeLab, berencana meluncurkan produk pinjaman untuk solopreneur, yakni karyawan dengan pekerjaan tambahan. Presiden Direktur Bank Saqu, Leonardo Koesmanto, mengonfirmasi bahwa produk pinjaman akan diluncurkan pada tahun ini.

Sejak diluncurkan pada November 2023, Bank Saqu telah mencatat total satu juta nasabah. Pada April 2024, Bank Saqu juga telah bekerja sama dengan fintech lending Danai.id untuk meningkatkan akses pembiayaan sektor produktif bagi UMKM.

Superbank, salah satu pendatang baru, juga meluncurkan produk pinjaman dengan skema kredit channeling. Presiden Direktur Superbank, Tigor M. Siahaan, menjelaskan bahwa perusahaan telah memulai pinjaman langsung (loan direct) untuk komunitas Grab. Selain itu, Superbank menawarkan Pinjaman Atur Sendiri (PAS), pinjaman digital tanpa agunan bagi pengguna Grab terpilih.

Presiden Direktur SeaBank Indonesia, Sasmaya Tuhuleley, menyatakan bahwa bank berencana meluncurkan fitur pinjaman langsung di aplikasi mereka pada akhir tahun 2024. Fitur ini telah diuji coba dan akan tersedia untuk semua nasabah pada kuartal IV/2024, memungkinkan mereka mengajukan pinjaman tanpa melalui pihak ketiga.

Pendekatan Baru dalam Kemitraan Fintech dan Bank

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, menyebutkan bank digital akan mulai membangun infrastruktur perkreditan digitalnya sendiri setelah mempelajari teknologi yang digunakan oleh fintech. Kemitraan ke depan akan lebih strategis melalui co-branding atau sekuritisasi aset pembiayaan.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Amin Nurdin, menambahkan bahwa skema channeling akan tetap berlanjut karena bank adalah bisnis yang diatur secara ketat, sementara fintech mampu terus berinovasi. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam skema channeling, seperti tata kelola manajemen, proses kredit, dan risiko kredit bermasalah.

Meskipun demikian, jika bank memilih mengurangi eksposur ke fintech, hal ini tidak akan berdampak signifikan pada kinerja bisnis perbankan, karena bank memiliki banyak saluran dan model untuk memasarkan kredit mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini