Kewenangan Menkeu Sri Mulyani atas Anggaran LPS Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Bisnis.com,02 Agt 2024, 13:38 WIB
Penulis: Herdiyan
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar, dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan pers usai dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai perwakilan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ke Istana Kepresidenan, Senin (20/6/2024). JIBI/Akbar Evandio

Bisnis.com, JAKARTA -- Kelompok masyarakat yang berlatar dosen dan mahasiswa yakni Giri Ahmad Taufik, Wicaksana Dramanda dan Mario Angkawidjaja melakukan uji materi kewenangan Menteri Keuangan atas anggaran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ke Mahkamah Konstitusi. Aturan anggaran ini merupakan regulasi baru yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) alias omnibuslaw sektor keuangan.

Pasal 86 ayat (4) sendiri berbunyi 'Ketua Dewan Komisioner menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan.'

Kuasa hukum Pemohon, Miko Ginting, menjelaskan tujuan utama permohonan ini adalah menjaga kemandirian dan independensi LPS agar perlindungan jaminan simpanan masyarakat dapat dilakukan secara optimal, terutama ketika bank dicabut izin usahanya dan memasuki tahap likuidasi.

"Kami berharap LPS yang mandiri dan independen tidak akan terpengaruh oleh keberpihakan yang dapat menyebabkan simpanan masyarakat di bank yang dilikuidasi kehilangan jaminan perlindungan," kata Miko dalam keterangan tertulis, Jumat (1/8/2024).

Dia menjelaskan Pasal 276 angka 28 UU PPSK menyatakan bahwa dalam kondisi krisis, LPS memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan milik Pemerintah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kontrol Kementerian Keuangan terhadap LPS dapat menyebabkan penjaminan simpanan dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah semata, yang pada akhirnya merugikan nasabah kecil.

Selain persoalan persetujuan Menteri Keuangan terhadap rencana kerja dan anggaran tahunan LPS, permohonan ini juga mempersoalkan kewenangan tambahan pada LPS berupa penempatan dana dalam proses penyehatan bank. Miko menjelaskan bahwa adanya kewenangan tambahan ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kedudukan BI dan LPS terkait entitas mana yang difungsikan sebagai lender of last resort.

Penempatan dana oleh LPS memiliki syarat yang berbeda dan lebih mudah dibandingkan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang dimiliki BI. Pasal 276 UU PPSK mengatur kewenangan penempatan dana oleh LPS untuk bank sistemik maupun non-sistemik yang mengalami masalah likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan solvabilitas dari BI. Bank penerima dana hanya disyaratkan memberikan jaminan berupa aset yang dianggap layak untuk pengembalian dana.

"Penambahan kewenangan penempatan dana bagi LPS dengan persyaratan yang lebih mudah dibandingkan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek dari BI berpotensi mengakibatkan kemampuan finansial LPS menjadi lebih difokuskan untuk kepentingan tertentu dibandingkan untuk kepentingan melakukan penjaminan dana nasabah masyarakat kecil secara luas, dan hal ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat yang memiliki simpanan di bank," terang Miko.

Miko menilai sebagai warga negara, dalam kapasitasnya sebagai dosen dan mahasiswa sekaligus nasabah, ingin mengantisipasi kondisi yang merugikan ini.

"Sebagai nasabah yang simpanannya dijamin oleh LPS, Pemohon sangat berkepentingan akan independensi LPS yang tidak berpihak pada kepentingan tertentu baik dalam menjalankan rencana kerja dan anggaran serta kewenangan yang tidak merugikan penjaminan dana nasabah,” sebutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini