Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) mengadukan polemik pemutusan hubungan kerja atau PHK massal karyawan PT Bank Commonwealth (PTBC) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Presiden Opsi, Saepul Tavip, menyampaikan, pengaduan ke Komnas HAM dilakukan untuk memastikan agar tidak ada intimidasi dalam proses PHK yang menimpa karyawan Bank Commonwealth yang berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia.
“Jangan sampai karyawan ‘dipaksa’ tanda tangan surat PHK padahal soal pesangonnya masih belum jelas,” kata Saepul kepada Bisnis, Senin (5/8/2024).
Setelah PT Bank OCBC NISP Tbk. (NISP) resmi mengakuisisi mayoritas saham PTBC, sebanyak 1.146 karyawan PTBC dirumahkan. Proses PHK sendiri sudah dilakukan sejak April 2024 dan terus bertahap hingga akuisisi berakhir di akhir tahun ini.
Meski Manajemen PTBC memastikan bahwa karyawan mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serikat pekerja Bank Commonwealth yang berafiliasi ke Opsi merasa keberatan lantaran perusahaan menetapkan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) akan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran pesangon.
DPLK merupakan dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa guna menyelenggarakan program Pensiun Iuran Pasti bagi perorangan baik karyawan maupun pekerja mandiri.
Saepul menilai, DPLK seharusnya dipisahkan dari yang pesangon mengingat secara hukum dana tersebut merupakan uang milik karyawan.
“Ada ataupun tidak ada aksi korporasi akuisisi, DPLK itu tetap milik karyawan,” tegasnya.
Perusahaan, ungkap Saepul, turut menjanjikan hampir semua karyawannya untuk mendapat tawaran kerja dan akan diterima di Bank OCBC. Namun, kenyataannya tidak sedikit yang menerima pil pahit lantaran tidak adanya tawaran apalagi diterima kerja di Bank OCBC.
“Ini jadi semacam jebakan batman, agar karyawan mau dan cepat-cepat tanda tangan surat PHK, demi membebaskan PT Bank Commonwealth dari tuntutan karyawan dan tentu saja memuluskan proses akuisisi,” jelasnya.
Sementara itu, kedua belah pihak dalam hal ini Opsi dan Manajemen PTBC telah dipertemukan di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melalui Direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Ini sebagai upaya penyelesaian melalui musyawarah mufakat.
Sayangnya, pertemuan yang berlangsung pada 31 Juli 2024 itu belum menemukan titik terang. Saepul mengungkap, perusahaan masih dalam posisi DPLK berikut dengan hasil pengembangannya, diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pesangon.
Sementara, Opsi juga masih pada posisi yang sama yaitu DPLK harus dipisahkan dari uang pesangon.
Adapun, ketentuan DPLK sebagai bagian dari uang pesangon sendiri baru diatur sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Saepul sebelumnya menilai, perusahaan harus mulai menghitung dari 2021 atau sejak terbitnya PP No.35/2021 jika ingin menjadikan DPLK sebagai bagian dari pembayaran uang pesangon. Artinya, uang DPLK yang sudah menjadi milik karyawan, diakuisisi atau tidak diakuisisi, harusnya dipisah setidak-tidaknya sejak berlakunya regulasi ini.
“Ketika diperhitungkan bagian dari pesangon, itu setelah 2021 ke sini. Jadi yang ke belakang itu tidak boleh dihitung bagian dari uang pesangon,” jelasnya dalam konferensi pers di TIS Square, Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2024).
Selain itu, Perusahaan diminta tidak memasukkan dana pengembangannya, karena berdasarkan PP No.35/2021, hanya iuran yang diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pesangon, tidak termasuk dana hasil pengembangannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel