Bisnis.com, JAKARTA -- Praktisi Asuransi Syariah mengungkapkan bahwa penurunan kinerja investasi menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor asuransi dan dana pensiun (dapen) terkontraksi sebesar 2,98% year-on-year (yoy) pada kuartal II/2024.
Wahyudi yang juga Sekretaris Perusahaan Jasindo Syariah menjelaskan bahwa industri asuransi dan dana pensiun sangat bergantung pada performa pasar keuangan. Dia menjelaskan saat ini permintaan produk asuransi dan kontribusi dana pensiun sedang lesu akibat ketidakpastian global, inflasi, serta kenaikan suku bunga yang berdampak pada daya beli masyarakat. Kondisi ini turut menjadi penyebab kontraksi PDB di sektor asuransi dan dana pensiun.
“Perusahaan asuransi masih menghadapi tingkat klaim yang tinggi, terutama di sektor asuransi kesehatan dan jiwa, hal tersebut tentunya memengaruhi margin keuntungan,” tambah Wahyudi, sembari menyoroti bahwa industri masih merasakan dampak pandemi Covid-19.
Wahyudi juga menyinggung tentang masih rendahnya penetrasi pasar asuransi di Indonesia, meskipun potensinya besar. Ia mencatat bahwa produk asuransi tradisional menghadapi persaingan ketat dari produk keuangan yang lebih modern seperti unit-link dan investasi langsung. Perusahaan asuransi saat ini berupaya melakukan efisiensi dengan memanfaatkan teknologi dan memperluas penetrasi pasar.
“Meskipun digitalisasi sedang berlangsung, banyak perusahaan asuransi masih dalam tahap awal adaptasi, menghadapi tantangan untuk sepenuhnya memanfaatkan teknologi guna meningkatkan efisiensi dan menjangkau pasar yang lebih luas,” jelasnya.
Untuk mengatasi kontraksi ini, Wahyudi menyarankan beberapa strategi yang bisa diterapkan oleh industri asuransi dan dana pensiun, seperti inovasi dan diversifikasi produk, digitalisasi proses bisnis, dan efisiensi operasional. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kemitraan strategis dengan fintech atau platform digital lainnya untuk memperluas jangkauan pasar, serta peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya asuransi.
“Penerapan manajemen risiko yang lebih canggih dan berbasis data juga diperlukan agar perusahaan dapat menyesuaikan harga premi dengan lebih akurat dan merespons dinamika pasar dengan cepat,” tutup Wahyudi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel