Efek Suku Bunga Tinggi, Bank Pangkas Target Laba Tahun Ini

Bisnis.com,13 Agt 2024, 03:15 WIB
Penulis: Arlina Laras
Ilustrasi bank. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan sejumlah bank melakukan revisi dengan memangkas target laba pada tahun ini. Lantas, apa penyebabnya?

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan kondisi tersebut terjadi karena kondisi suku bunga global yang masih tinggi ditambah lagi adanya kenaikan biaya dana akibat perebutan dana murah di pasar.

“Sementara, suku bunga kredit saat ini tergolong stabil di tengah suku bunga DPK yang meningkat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (12/8/2024).

Meskipun demikian, kata Dian, sesuai dengan rencana bisnis bank (RBB) revisi dari bank margin bunga bersih alias net interest margin/NIM) pada akhir 2024 diproyeksikan masih tergolong stabil dibandingkan NIM pada semester I/2024.

Menurutnya, ini tecermin oleh capaian realisasi laba perbankan pada Juni 2024 yang lebih baik dibandingkan proyeksi pada awal tahun. 

“Dengan optimisme bahwa penyaluran kredit perbankan di 2024 masih cukup tinggi dengan pencapaian double digit, pertumbuhan kinerja perbankan pada tahun 2024 diharapkan tetap terjaga baik meskipun mungkin tidak setinggi tahun lalu,” ujar Dian. 

Berdasarkan catatan Bisnis, rasio margin bunga bersih (net interest margin/NIM) mengalami penyusutan menjadi 4,57% per Juni 2024, naik tipis dari periode Mei 2024 yang mencapai 4,56%. Adapun, secara tahunan capaian Juni 2024 susut, di mana Juni tahun lalu sebesar 4,8%. 

Sebagaimana diketahui, NIM memberikan gambaran tentang seberapa efisien suatu lembaga keuangan dalam menghasilkan keuntungan dari selisih antara pendapatan bunga yang diperoleh dan biaya bunga yang dibayar. Makin besar angka NIM mengindikasikan potensi keuntungan perbankan dari dana yang disalurkan semakin besar.

Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyatakan bahwa pertumbuhan kinerja Himbara mengalami perlambatan, termasuk laba, di tengah kondisi suku bunga yang tinggi. "Kami menjaga kehati-hatian. Ya, pokoknya kami konservatif dan pruden," ujarnya Selasa (30/7/2024).

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh OJK, industri perbankan umum mencatatkan laba sebesar Rp101,47 triliun per Mei 2024. 

Angka ini naik Rp2,8 triliun dibandingkan April 2024 atau meningkat 2,84% yoy dari Rp98,67 triliun pada Mei 2023.

Secara rinci, laba bank persero per Mei 2024 mencapai Rp51,32 triliun, naik dari Rp40,78 triliun pada bulan sebelumnya, serta meningkat 6,38% yoy dari Rp48,24 triliun tahun lalu. 

Namun, laba kelompok BPD per Mei 2024 hanya mencapai Rp5,38 triliun, naik dari Rp4,09 triliun pada bulan sebelumnya, tetapi turun 5,99% yoy dari Rp5,72 triliun tahun lalu. 

Bank Swasta Nasional juga mengalami peningkatan laba bulanan sebesar Rp8,9 triliun, tetapi secara tahunan mengalami penurunan 1,94% yoy dari Rp39,53 triliun. 

Di sisi lain, Kantor Cabang Bank Luar Negeri (KCBLN) mencatatkan laba per Mei sebesar Rp6 triliun, naik dari Rp4,64 triliun pada April 2024, dan meningkat 16,08% yoy dari Rp5,18 triliun tahun sebelumnya.

Sementara itu, Pengamat Perbankan & Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengatakan dinamika kinerja perbankan sendiri tidak terlepas dari pasar uang, inflasi, dan nilai tukar. 

Dia menyebut sampai pertengahan tahun ini kondisi perekonomian Indonesia pada umumnya masih menghadapi tantangan atas ketiga, antara lain faktor eksternal, makro dan global.

“Di sisi lain, secara internal bank juga perlu memperhatikan kualitas asetnya, kemampuan bertumbuhnya dan likuiditas untuk membiayai operasional atau bisnisnya agar tetap mampu mengantisipasi setiap dinamika yang dihadapi,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (31/7/2024).

Ke depan, soal proyeksi kinerja industri perbankan, Arianto memprediksi ini bakal bergantung pada stabilitas global dan kepastioan nasional setelah pergantian kepemimpinan negara. 

Menurutnya, jika pemerintahan baru mampu mempertahankan kepercayaan masyarakat dan investor, maka perekonomian akan membaik dan arus dana masuk ke dalam negeri akan lebih besar, yang pada akhirnya mendorong penurunan tingkat suku bunga acuan.

“Kondisi ini akan membuat pertumbuhan paruh kedua akan lebih tinggi dibanding pertumbuhan paruh pertama,” ungkap Arianto. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini