Bisnis.com, JAKARTA - Sederet bank digital mencatatkan porsi nasabah aktif yang belum optimal meski di tengah laju peningkatan jumlah nasabah dan target ambisius akuisisi pengguna hingga akhir tahun. Lantas, apakah ini memberikan beban tersendiri bagi perbankan?
Head of Sustainability & Digital Lending Bank Jago Andy Djiwandono mengatakan beban yang dirasakan atas rendahnya porsi nasabah aktif di bank digital dapat bervariasi tergantung dari tiap-tiap bank. Menurutnya tiap bank memiliki struktur cost hingga infrastrukturnya yang berbeda.
“Tergantung banknya ya, karena banyak faktor di belakang itu ya. Misalnya beban, karena apa kira-kira? Karena serving cost mungkin ya, cost-nya gitu ya. Jadi, saya rasa masing-masing bank beda-beda sih ya,” ujarnya, Rabu (14/8/2024).
Andy juga menunjukkan bahwa sebagai bank yang berbasis teknologi memiliki keuntungan dalam hal skalabilitas dibandingkan dengan bank tradisional, karena teknologi modern memungkinkan mereka untuk mengelola pertumbuhan dengan lebih fleksibel dan efisien.
“Dan juga karena kita [Bank Jago] punya enablement structure dari sistem kita yang beda dengan bank lain [jadi] mungkin saya rasa beda-beda sih ya. Saya enggak bisa bilang pasti [pukul rata bahwa ini beban] untuk semua orang,” katanya.
Bank Jago sendiri mendefinisikan nasabah aktif adalah pengguna yang juga berada di ekosistem mitra integrasi Jago.
“Walaupun mungkin dia [nasabah] tidak selalu sadar bahwa dia sebenarnya pakai Jago gitu ya. Misal banyak yang pakai Gopay Tabungan. Itu kan enggak buka aplikasi Jago, tapi mau enggak mau pakai Jago sebenarnya,” ungkap Andy.
Sebagaimana diketahui, sampai dengan Juli 2024 nasabah funding melalui Aplikasi Jago telah mencapai lebih dari 10 juta. Jika memperhitungkan nasabah lending, total nasabah Bank Jago mencapai 12,5 juta.
Lebih lanjut, Andy menjelaskan sejauh ini mitra, seperti ekosistem GoTo serta platform reksadana online Bibit yang terhubung dengan Aplikasi Jago, juga dinilai memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan bisnis Bank Jago. Ini terlihat salah satunya dari jumlah nasabah funding Aplikasi Jago yang sebanyak 66% berasal dari mitra ekosistem.
Sebagaimana diketahui, pertumbuhan pengguna Aplikasi Jago sejalan dengan penghimpunan DPK yang mencapai Rp14,8 triliun per kuartal II/2024 atau tumbuh 47% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp10,1 triliun.
Adapun, dari kacamata pengamat seperti Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch. Amin Nurdin pun tak menampik bahwa rendahnya porsi dari nasabah aktif bisa membebani bank.
“Ya seperti beban operasional, kemudian beban sewa sistem, pemeliharaan, karena di dalamnya kan harus menyimpan database customer,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (15/8/2024),
Lebih lanjut, kata Amin, sebenarnya bank digital masih menciptakan pendapatan nonbunga alias fee based income dari transaksi, menurut hematnya, saat volume transaksi makin banyak, seharusnya akan dibarengi dengan banyaknya saldo yang mengendap.
“Kalau mereka masih tradisional, tradisional artinya ada dana mengendap tanpa transaksi harus dicek seberapa besar nih saldonya, karena perputaran likuiditas ini untuk membiayai kredit, kalau hanya stuck tidak ada transaksi ini sebenarnya memberikan beban bunga, meskipun tidak signifikan,” paparnya.
Amin juga menyoroti tingginya penawaran bunga deposito dan tabungan oleh bank digital dibandingkan bank konvensional, membuat besar kemungkinan terjadi peningkatan dalam biaya dana alias cost of fund.
Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga turut menyampaikan bahwa yang saat ini masih menjadi permasalahan terhadap nasabah bank digital, di mana masih banyaknya pengguna yang memanfaatkan bank digital hanya untuk transaksi pembayaran ataupun transfer tanpa biaya.
“Kita harus akui bahwa bank digital belum menjadi tempat yang dipilih untuk menyimpan uang dalam jangka waktu tertentu. Pilihan untuk deposito pun masih sangat kurang,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (14/8/2024).
Akhirnya, hal ini pun menjadikan bank digital bermain dalam tataran uang murah dengan bunga yang tinggi untuk menarik minat masyarakat menjadikan bank digital sebagai tabungan.
Dengan demikian, menurut Nailul sudah seharusnya bank digital mulai mengubah atau menambahkan layanannya ke deposito jangka waktu tertentu untuk menarik minat masyarakat menyimpan uang di bank digital. Kemudian bank digital juga harus mulai mempertimbangkan untuk masuk ke dalam layanan payroll sistem.
“Ini untuk meningkatkan kepercayaan terhadap konsumen,” ujarnya.
Kondisi di Blu, Jenius, dan Bank Saqu
Sementara itu, dari pemain bank digital lain yaitu Bank Digital BCA (blu) mencatatkan dua juta nasabah per Juni 2024. Adapun, Blu menargetkan 2,2 hingga 2,3 juta nasabah hingga akhir tahun 2024.
Head of Corporate Planning BCA Digital Yoga Halim mengatakan jumlah nasabah aktif di BCA Digital hampir menyentuh 50% dari total pengguna.
“Memang yang aktif di kita sekitar hampir 50%, memang kita terus edukasi agar orang makin banyak menggunakan Blu,” ujarnya, Kamis (8/8/2024).
Alhasil, untuk terus meningkatkan jumlah pengguna, kata Yoga, Blu by BCA Digital senantiasa berkomitmen untuk dapat melengkapi fitur-fitur demi memenuhi semua kebutuhan perbankan masyarakat.
Beberapa fitur di dalamnya seperti bluSaving, bluDeposit, bluGether, bluInvest, bluInsurance, bluBisnis hingga bluDebit Card juga dirancang untuk membantu pengguna memiliki kontrol lebih serta kebebasan mengatur finansial pengguna.
“Jadi, sekarang misal mau bayar misal PLN, PAM, mau beli pulsa atau top up bisa. Kita kuatkan fitur di sana,” ungkapnya.
Pemain lainnya, yaitu Jenius milik PT Bank BTPN Tbk. (BTPN) sendiri mencatat nasabah aktif sekitar 25% dari total nasabah. Wakil Direktur Utama BTPN Darmadi Sutanto mengatakan nasabah aktif yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi selama 30 hari terakhir.
“Macam-macam [transaksinya] untuk bayar QRIS dan bayar lainnya, ini di luar bunga ya. Jadi, benar-benar transaksi yang diinisiasi oleh nasabah,” katanya, Senin (12/8/2024).
Darmadi juga menyebut saat ini yang menjadi loyalitas nasabah menjadi tantangan bagi bisnis perbankan digital, termasuk bagi Jenius yang menjadi pionir bank digital di Indonesia. Pasalnya, saat ini banyak nasabah muda berpindah dari satu bank digital ke bank digital lainnya, lantaran ditengarai adanya tawaran promo, diskon, hingga bunga yang menarik.
“Orang ber-bank kan sebetulnya kan perlu trust dan perlu memastikan bank tersebut ada sepanjang zaman. Tapi bagi netizen hal itu sudah tidak terlalu matters [penting],” katanya.
Tak mau ketinggalan, Bank Saqu, layanan perbankan digital dari PT Bank Jasa Jakarta, mencatatkan jumlah nasabah menembus angka satu juta nasabah dalam waktu enam bulan sejak diluncurkan pada November tahun lalu.
Presiden Direktur Bank Jasa Jakarta Leonardo Koesmanto mengatakan secara kasar jumlah nasabah aktif Bank Saqu sendiri berada di kisaran separuh dari total keseluruhan pengguna.
“Untuk yang aktif kurang lebih setengahnya. Kan kita memang masih baru, kita baru tujuh bulan, jadi memang berkembang dari rentang waktu itu,” ujarnya kepada Bisnis.
Ke depan, Leo menyebut hingga akhir tahun pihaknya akan terus menargetkan pertambahan jumlah nasabah. “Kita fokusnya bukan ke jumlahnya, tapi ke kualitasnya, supaya engagement. Jadi kalau dibilang nasabah sampai akhir tahun ya mungkin sekitar satu juta lebih,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel