Bisnis.com, JAKARTA -- PT Asuransi Jasa Indonesia (Asuransi Jasindo) menjabarkan dampak ikutan setelah regulator menghentikan program restrukturisasi kredit akibat Covid-19. Dampak itu dengan terjadinya peningkatan pengajuan klaim asuransi kredit.
Diwe Novara, Direktur Pengembangan Bisnis Asuransi Jasindo program stimulus restrukturisasi kredit diperkenankan regulator sejak Maret 2020, Program meringankan bagi debitur itu telah resmi berakhir pada 31 Maret 2024. Menurut Diwe, dampak penghentian relaksasi kredit tersebut masih sangat dirasakan oleh industri perbankan dan berimbas pada perusahaan asuransi yang menjamin kredit.
"Perusahaan asuransi yang menjamin kredit tentunya harus bersiap menghadapi potensi kenaikan pengajuan klaim akibat pencabutan relaksasi kredit, terutama dari nasabah UMKM," ujar Diwe kepada Bisnis, Kamis (15/8/2024).
Selain itu, Diwe juga menjelaskan BUMN Asuransi dan penjaminan atau Indonesia Financial Group (IFG) telah melakukan peninjauan ulang atas kerja sama asuransi kredit yang terjadi di anak perusahaan termasuk Jasindo. Evaluasi ini selain skema bisnis juga mendorong pengesuaian premi berbasis risiko. "Pasar ternyata dapat menerima kenaikan tarif tersebut, yang diharapkan bisa menciptakan tarif premi yang sesuai dengan profil risiko masing-masing mitra," tambahnya.
Hingga Juni 2024, klaim asuransi kredit tercatat melonjak, dengan total klaim mencapai Rp2,09 triliun, meningkat 29,75% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Data ini selaras dengan peningkatan Non-Performing Loan (NPL) di sektor UMKM perbankan, yang tercatat mencapai 4,04%, mendekati ambang batas 5% yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Diwe menegaskan bahwa kondisi ini harus diantisipasi oleh perusahaan asuransi melalui kesepakatan cicilan klaim dengan mitra perbankan, yang juga dapat diakui sebagai pengurangan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
"Langkah ini diharapkan dapat menjaga stabilitas industri asuransi dari lonjakan klaim, sekaligus memberikan kepastian pembayaran klaim bagi perbankan," kata Diwe.
Lebih lanjut, Diwe menjelaskan bahwa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20 Tahun 2023, yang mengharuskan perusahaan asuransi menetapkan risiko yang ditanggung kreditur paling sedikit 25% dari nilai saldo kredit, telah diimplementasikan dengan baik oleh perbankan dan perusahaan asuransi.
"Penerapan risk sharing ini dinilai sebagai solusi win-win bagi perbankan dan perusahaan asuransi, di mana perbankan dapat meningkatkan kualitas kreditnya, sementara perusahaan asuransi memberikan perlindungan terhadap debitur dengan kualitas yang baik," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel