Bisnis.com, JAKARTA -- Inflasi medis yang terus meningkat telah menyebabkan biaya pelayanan kesehatan semakin mahal. Dampaknya, tarif asuransi kesehatan baik dari sektor nonkomersial maupun komersial terkerek naik. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melaporkan bahwa rata-rata industri asuransi menaikkan tarif premi asuransi kesehatan sebesar 20-30% tahun ini.
Di sektor asuransi nonkomersial, Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan juga berencana menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) seiring dengan rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan dimulai tahun depan.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama tingginya biaya kesehatan di Indonesia adalah ketergantungan pada impor alat kesehatan dan bahan baku farmasi. "Ini jadi problem utama, karena itu kena pajak tinggi termasuk pajak setara barang mewah. Selama kita menerapkan pajak tinggi pada alat kesehatan dan farmasi, utility cost pricing layanan kesehatan akan tetap tinggi," ungkap Hermawan kepada Bisnis, Minggu (18/8/2024).
Hermawan menilai bahwa solusi yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendorong industrialisasi farmasi di dalam negeri. Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa saat ini 90% bahan baku obat di Indonesia masih diimpor.
Di sisi lain, Hermawan juga menyatakan bahwa menjamin kepesertaan JKN bagi seluruh populasi Indonesia bukanlah solusi instan. Sebab, peningkatan iuran JKN akan membutuhkan anggaran negara yang lebih besar, terutama untuk mendukung peserta JKN segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI). "Memang kapasitas fiksal kita akan diuji, dan kelenturannya akan semakin menegang ketika premi JKN naik. Dan presentase ini akan menyebebabkan beban APBN membengkak," kata Hermawan.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2023, 66,4% penduduk Indonesia menggunakan BPJS Kesehatan, sementara hanya 0,5% yang menggunakan asuransi kesehatan swasta. Hermawan menyoroti rendahnya penetrasi asuransi kesehatan swasta di Indonesia, yang disebabkan oleh rendahnya daya beli dan kurangnya kemauan untuk membeli asuransi kesehatan. "Penting untuk meningkatkan edukasi dan kampanye kesehatan, termasuk gizi, yang harus menjadi prioritas pemerintah," tambahnya.
Hermawan juga menyebut bahwa saat ini ada mekanisme yang memungkinkan penggabungan manfaat asuransi kesehatan BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta melalui Coordination of Benefit (CoB). Ini memungkinkan individu yang memiliki BPJS Kesehatan dan asuransi swasta untuk mendapatkan perlindungan tambahan.
Ketua Riset dan Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, mengakui bahwa inflasi medis saat ini memaksa kenaikan biaya asuransi kesehatan. "Wajar bila asuransi BPJS maupun swasta mulai menaikkan premi, karena biaya alat, obat, dan jasa kesehatan terus naik seiring inflasi di Indonesia dan global," kata Olivia.
Olivia menekankan bahwa tugas utama pemerintah adalah memastikan akses yang adil ke layanan kesehatan, terutama melalui JKN, tanpa hambatan biaya. Selain itu, dia menyarankan pemerintah untuk membangun industrialisasi farmasi di dalam negeri guna mengurangi ketergantungan pada impor dan menekan biaya kesehatan. "Pajak barang mewah untuk alat kesehatan sebaiknya ditiadakan atau diturunkan. Selain itu, kualitas layanan JKN juga perlu ditingkatkan agar pemanfaatannya meningkat dan sesuai dengan kenaikan premi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel