Bisnis.com, JAKARTA — PT Tokio Marine Indonesia tak khawatir terkait dengan potensi gempa megathrust di Indonesia. Diketahui, asuransi properti menjadi salah satu penyumbang terbesar perolehan premi perusahaan.
Chief Distribution Officer Tokio Marine Indonesia Muhammad Ali mengatakan bahwa dalam bisnis asuransi semua potensi sudah dihitung. Tidak hanya sampai disitu, pihaknya juga sudah memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait dengan reasuransi.
"As long as government kami sudah jalan, kami lakukan sesuai dengan aturan, itu aman. Karena sudah pasti pelaku-pelaku industri asuransi dan juga regulator itu sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini. Jadi kalau ada ilmunya itu menghitung sampai 100 tahun atau apa kemungkinan itu sudah dihitung semua," kata Ali saat ditemui usai konferensi pers di Kantor Tokio Marine Indonesia, di Jakarta pada Selasa (20/8/2024).
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan kembali terkait dengan potensi gempa megathrust di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang diduga sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Zona seismic gap tersebut mesti diwaspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan pembahasan mengenai potensi gempa megathrust sebenarnya bukan hal baru. Bahkan, isu tersebut sudah ada sejak sebelum terjadi Gempa dan Tsunami Aceh 2004.
"Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini bukanlah bentuk peringatan dini atau warning yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar. Tidak demikian," kata Daryono dalam keterangan tertulis, pekan lalu.
Potensi Gempa Megathrust di Indonesia
Daryono menerangkan munculnya potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut tidak ada kaitan langsung dengan peristiwa gempa kuat 7,1 magnitudo yang berpusat di Tunjaman Nankai dan mengguncang Prefektur Miyazaki Jepang.
Berdasarkan data historis, gempa besar terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 dengan usia seismic gap 78 tahun. Sementara itu, gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 atau usia seismic gap 267 tahun, sedangkan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut terjadi pada 1797 dengan usia seismic gap 227 tahun.
"Artinya kedua seismic gap kita periodisitasnya jauh lebih lama jika dibandingkan dengan seismic gap Nankai, sehingga mestinya kita jauh lebih serius dalam menyiapkan upaya-upaya mitigasinya," terangnya.
BMKG pun menyebut bahwa gempa di dua zona megathrust tersebut tinggal menunggu waktu. Pasalnya, kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar.
Kendati begitu, Daryono menegaskan bahwa pernyataan ‘tinggal menunggu waktu’ itu tidak berarti gempa akan segera terjadi atau dalam waktu dekat.
"Sudah kita pahami bersama, bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa, sehingga kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya," terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel