Bisnis.com, JAKARTA — Upaya penyelesaian masalah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menyisakan tantangan, yakni pemegang polis yang menolak restrukturisasi. Penolakan itu bukan tanpa alasan, sejumlah pemegang polis asuransi merasa terjebak oleh aturan dan kini menjadi korban.
Salah satunya adalah Iwan Hadikusumo. Pensiun di salah satu perusahaan swasta bidang perminyakan, nilai manfaat saat berakhirnya pekerjaan yang diterimanya berada di rentang Rp500 juta hingga Rp1,5 miliar.
Masalahnya, nilai besar dana pensiun itu tidak dapat dinikmati sekaligus. Undang-Undang Dana Pensiun dan Peraturan OJK mewajibkan 80% dana yang dimiliki harus dibelikan produk di perusahaan asuransi yakni anuitas. Melalui produk ini, nasabah akan menerima manfaat sesuai dengan penawaran perusahaan.
Saat itu, Iwan diharapkan pada dua pilihan produk anuitas, yakni Jiwasraya atau AJB Bumiputera 1912.
Waktu menjawab, kedua perusahaan itu ternyata merupakan asuransi yang sakit.
Iwan menyebutkan karena dampak regulasi, dirinya tidak pernah memegang 80% uang pensiun hasil kerjanya selama puluhan tahun ini. Dana jumbo itu langsung ditransferkan oleh perusahaan ke Jiwasraya. Produk anuitas Jiwasraya itu kemudian mulai membayarkan manfaat mulai 2018. Namun, semenjak Februari 2021, tanpa penjelasan yang cukup, uang pensiunnya itu dihentikan.
Iwan merasa bahwa penempatan anuitas di Jiwasraya bukan pilihan dirinya, tetapi dipaksa pemerintah melalui regulasi.
"OJK tidak fair, jika memang perusahaan tidak sehat secara operasional maka seharusnya tidak diizinkan menjual produk ke konsumen," kata Iwan kepada Bisnis, dikutip pada Senin (26/8/2024).
OJK Diminta Tegas Pastikan Hanya Asuransi Sehat yang Jual Anuitas
Direktur Utama Dana Pensiun (Dapen) BCA Budi Sutrisno berkomentar soal kondisi tersebut. Budi menjelaskan, implementasi saldo Manfaat Pensiun peserta Dana Pensiun yang dilakukan pembelian anuitas pada asuransi jiwa sudah diimplementasikan sejak UU Dana Pensiun no 11 tahun 1992.
Secara prinsip, terangnya, program anuitas adalah mekanisme untuk mengubah akumulasi saldo manfaat pensiun menjadi aliran pendapatan berkala yang dibayarkan kepada peserta selama seumur hidup peserta.
"Prinsip ini bertujuan untuk memberikan perlindungan jangka panjang terhadap risiko kehabisan dana selama masa pensiun," kata Budi kepada Bisnis, Senin (26/8/2024).
Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih detail di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) bahwa pembayaran manfaat pensiun bagi peserta, janda/duda, atau anak harus dilakukan secara berkala.
Berkaca atas yang terjadi di Jiwasraya, Budi mengatakan salah satu langkah penting yang harus ditegaskan lagi adalah meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan asuransi jiwa yang menawarkan produk anuitas.
"OJK perlu memastikan bahwa hanya perusahaan yang memiliki fundamental keuangan yang kuat dan manajemen risiko yang baik yang diperbolehkan menjual produk ini," kata Budi.
Budi menjelaskan saat ini OJK telah mengatur produk anuitas dari perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah yang dalam tiga tahun terakhir telah memenuhi target tingkat solvabilitas minimum sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit.
Budi melanjutkan, anuitas sebenarnya dirancang untuk mengatasi risiko bahwa peserta pensiun akan menghabiskan seluruh dana mereka terlalu cepat, terutama jika mereka hidup lebih lama dari yang diharapkan.
"Dengan anuitas, peserta menerima pembayaran yang terjamin secara berkala, biasanya bulanan, sehingga mereka memiliki penghasilan stabil pasca purna bakti," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel