Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sedang intens berkomunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membahas keberlangsungan industri peer to peer lending (P2P Lending) atau pinjaman online (pinjol) di tengah penurunan laba.
OJK mencatat laba P2P lending Juni 2024 turun 25,41% year-on-year (yoy) menjadi Rp336,01 miliar dari Rp450,51 miliar pada Juni 2023.
Hal itu selaras dengan pendapatan operasional yang juga turun 13,68% yoy menjadi Rp6,45 triliun dari Rp5,67 triliun. Pendapatan non-operasional juga turun 45,73% yoy menjadi Rp92,45 miliar dari Rp170,37 miliar.
Sebagai gambaran, pendapatan operasional terdiri dari komponen pendapatan atas pengembalian pinjaman, pendapatan atas pemberian pinjaman, dan pendapatan atas denda. Sementara pendapatan non-operasional terdiri dari komponen pendapatan bunga/pendapatan bagi hasil dan pendapatan lainnya.
"Kami bersama OJK sedang membahas hal ini, karena sebenarnya walaupun profit para pemain fintech lending sangat banyak terpengaruh oleh manfaat ekonomi namun hal lain yang lebih mempengaruhi adalah naiknya beberapa cost," kata Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar kepada Bisnis, Rabu (29/8/2024).
Entjik menjelaskan, beberapa komponen biaya yang naik tersebut antara lain seperti biaya kontrol risiko (risk control cost) dan biaya akuisisi pelanggan (customer acquisition cost).
"Karena akhir-akhir ini kualitas peminjam baru menurun, banyaknya fraud ataupun kelompok galbay [gagal bayar] yang terus mencoba untuk menembus agar pinjamannya bisa cair," kata Entjik.
Laba yang didapat penyelenggara pinjol tersebut berpotensi makin kecil karena adanya ketentuan OJK yang memangkas batas atas manfaat ekonomi setelah 2024 ini.
Dalam Surat Edaran OJK (SE OJK) Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, mengatur batas maksimum manfaat ekonomi pinjol untuk pendanaan sektor produktif mulai 2026 menjadi 0,067%, dari mulanya 0,1%.
Sementara itu, batas maksimum manfaat ekonomi untuk pendanaan sektor konsumtif mulai 2025 menjadi 0,2% dari awalnya 0,3%. Bahkan, mulai 1 Januari makin kecil menjadi 0,1%.
"Dalam hal manfaat ekonomi yang semakin mengecil, saya yakin OJK akan melakukan monitoring dan evaluasi," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel