Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom dari Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet, mengungkapkan keraguannya terhadap dua skema pembiayaan infrastruktur oleh swasta yang baru diluncurkan pemerintah, yaitu hak pengelolaan terbatas (HPT) dan pengelolaan peningkatan perolehan nilai kawasan (P3NK). Menurut Yusuf, skema tersebut kemungkinan tidak akan banyak meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Yusuf menjelaskan bahwa kedua skema ini memungkinkan pemerintah dan swasta untuk mengelola atau membangun infrastruktur yang ada maupun yang akan dibangun di masa mendatang. Contohnya, pihak swasta dapat memberikan pembayaran di muka kepada pemerintah untuk pembangunan aset negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang nantinya dapat dikelola oleh pihak swasta untuk jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan.
"Meskipun skema ini tampak seperti solusi win-win bagi pemerintah dan swasta, saya kira dalam pelaksanaannya akan ada beberapa risiko yang bisa muncul," ujar Yusuf kepada Bisnis, Rabu (28/8/2024).
Salah satu risiko yang disebutkan Yusuf adalah kemungkinan pengelolaan aset oleh swasta yang tidak optimal, yang pada akhirnya bisa menjadi beban bagi pemerintah. Selain itu, diperlukan waktu sebelum proyek infrastruktur dapat menghasilkan keuntungan, sehingga perusahaan yang terlibat harus memiliki pengalaman, arus kas yang kuat, dan kemampuan untuk menyelesaikan pengelolaan aset sesuai kesepakatan.
"Namun, di Indonesia, jumlah perusahaan infrastruktur swasta yang besar masih terbatas, dan ini tidak sejalan dengan potensi pembangunan infrastruktur yang dapat dilakukan melalui skema ini," tambahnya.
Yusuf menyimpulkan bahwa skema HPT dan P3NK kemungkinan belum dapat berkontribusi besar dalam meringankan beban APBN untuk pembiayaan infrastruktur di masa mendatang. Dengan keterbatasan jumlah perusahaan infrastruktur swasta besar, kontribusi dari skema ini terhadap penurunan anggaran akan relatif terbatas.
Target Pemerintah
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menjelaskan bahwa dua skema pembiayaan swasta ini diluncurkan untuk meringankan beban APBN dan mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN). Ia mengakui bahwa kebutuhan pembiayaan infrastruktur meningkat dari tahun ke tahun, terutama dengan porsi yang lebih besar dari swasta.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015—2019, kebutuhan total dana infrastruktur mencapai Rp4.796,2 triliun, dengan porsi pembiayaan swasta sebesar Rp1.751,4 triliun. Sementara dalam RPJMN 2020—2024, kebutuhan pendanaan infrastruktur diproyeksikan mencapai Rp6.445 triliun, dengan porsi swasta sebesar Rp2.707 triliun. RPJMN 2025—2029 juga mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan pendanaan infrastruktur.
"Intinya, pembiayaan infrastruktur sebesar Rp6.445 triliun dalam RPJMN 2020—2024 tidak mungkin sepenuhnya dibiayai oleh APBN atau APBD," tegas Susi dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Susiwijono juga menjelaskan bahwa skema pembiayaan HPT diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 66/2024, sementara skema P3NK diatur dalam Perpres No. 79/2024. Pedoman implementasi kedua skema tersebut akan diterbitkan melalui aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Koordinator (Permenko). Beberapa proyek percontohan yang menerapkan skema ini sudah berjalan, termasuk pembangunan Jembatan Batam-Bintan dan Semarang Harbour Toll Road.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel