Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa pendanaan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) ke sektor infrastruktur mengalami penurunan drastis sebesar 50,79% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp100,16 triliun pada Juni 2024. Penurunan ini merupakan akumulasi dari pendanaan Lembaga Khusus Keuangan (LKK) dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur (PPI), yang masing-masing turun 12,61% yoy menjadi Rp88,94 triliun dan 88,98% yoy menjadi Rp11,21 triliun.
Guru Besar Fakultas Teknik dan Direktur Center for Sustainable Infrastructure Development (CSID) Universitas Indonesia (UI), Mohammed Ali Berawai, menyoroti penurunan tajam pada aset PPI. "Data terbaru dari OJK menunjukkan penurunan tajam dalam aset perusahaan pembiayaan infrastruktur dalam setahun terakhir," ujar Ali kepada Bisnis pada Senin (2/9/2024).
Berdasarkan data OJK, aset PPI pada Juni 2024 tercatat turun 88,82% yoy menjadi Rp14,71 triliun, dibandingkan dengan Rp131,59 triliun pada Juni 2023. Penurunan ini juga tercermin setelah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) tidak lagi menjadi bagian dari PPI sejak September 2023. Hal ini menyebabkan penurunan akumulasi aset PPI pada bulan itu menjadi Rp14,79 triliun, dibandingkan Rp129,71 triliun pada Agustus 2023.
Ali menjelaskan bahwa penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh sikap wait and see para pelaku bisnis yang biasa terjadi pada tahun politik, yang berdampak pada total aset dan volume pembiayaan proyek infrastruktur. Namun, Ali optimistis bahwa tren ini akan membaik dengan terpilihnya pasangan Prabowo-Gibran, yang mengusung visi keberlanjutan.
Di sisi lain, OJK mencatat bahwa aset PT SMI pada Juni 2024 juga mengalami penurunan sebesar 13,35% yoy menjadi Rp114,01 triliun dari Rp131,59 triliun pada Juni 2023. Dengan keluarnya PT SMI dari kategori PPI, satu-satunya perusahaan pembiayaan yang fokus pada infrastruktur dalam data OJK terbaru adalah PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF).
Sebelumnya, Head of Corporate Communication Department IIF, Siva Rahmadani, menjelaskan bahwa aset investasi IIF pada Juni 2024 mencapai Rp13,1 triliun, dengan sektor energi terbarukan menjadi yang terbesar (24% dari total aset investasi), diikuti sektor telekomunikasi dan informasi (22%), dan sektor jalan tol (13%).
"Sampai 30 Juni 2024, Perseroan telah membukukan komitmen baru senilai Rp1,6 triliun, yang terdiversifikasi ke beberapa sektor seperti infrastruktur air, gas, jalan tol, dan infrastruktur kawasan," ungkap Siva.
IIF mencatat pertumbuhan laba bersih sebesar 75,6% yoy pada semester I/2024, menjadi Rp67,1 miliar dari Rp38,2 miliar pada semester I/2023. Peningkatan ini didukung oleh pendapatan bunga bersih yang naik 7,5% menjadi Rp192,8 miliar dari periode sebelumnya sebesar Rp179,4 miliar. Siva menambahkan bahwa IIF menargetkan pertumbuhan laba bersih antara 14-15% menjadi sekitar Rp120 miliar pada tahun ini, dengan fokus pada tiga strategi utama: memperkuat daya saing, ekspansi bisnis, dan peningkatan kinerja keuangan.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, mengungkapkan bahwa kendala terbesar perusahaan pembiayaan di sektor infrastruktur adalah permodalan. Menurutnya, perusahaan pembiayaan yang dapat mendanai proyek infrastruktur harus memiliki modal minimal Rp1 triliun sesuai ketentuan OJK.
"Rata-rata pendanaan hanya berlangsung tiga hingga empat tahun. Sementara untuk infrastruktur, dibutuhkan pendanaan jangka panjang hingga 30 tahun. Dari mana dananya, karena kita tidak bisa mendapatkan dana dari publik," jelas Suwandi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel