BPJS Watch Soroti 3 Regulasi yang Beratkan BPJS Ketenagakerjaan

Bisnis.com,03 Sep 2024, 20:14 WIB
Penulis: Akbar Maulana al Ishaqi
Pegawai melayani nasabah di kantor BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta, Senin (4/3/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan harus berupaya mendongkrak pendapatan dari iuran program Jaminan Kematian (JKM). Pasalnya, diproyeksikan rasio klaim JKM akan tembus 100% mulai 2026 nanti.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyoroti setidaknya ada tiga Peraturan Pemerintah (PP) yang menggerus pendapatan iuran program JKM di tengah bayang-bayang kurangnya dana dalam pembayaran klaim.

Pertama adalah PP Nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Beleid tersebut mengatur sumber pendanaan JKP diambil dari rekomposisi iuran JKM sebesar 0,10%.

Timboel menyarankan ketentuan tersebut harus direvisi dengan mengganti sumber pendapatan yang direkomposisi adalah dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Dia menjelaskan, proses revisi PP 37/2021 itu tengah berlangsung.

"Karena tadi, mengingat kenapa? Karena rasio klaimnya si JKP itu kecil. Kemudian duitnya masih menumpuk. Artinya kalaupun JKM rekomposisinya terhentikan, dia tidak akan mengganggu rasio klaim, tidak akan mengganggu ketahanan dana," kata Timboel kepada Bisnis, Selasa (3/9/2024).

Regulasi kedua adalah PP Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.

Beleid tersebut mengatur nilai manfaat peserta JKM meningkat, di mana ahli waris dari peserta program JKM bisa mendapatkan total manfaat senilai Rp42 juta dan beasiswa hingga Rp174 juta. 

Meskipun bagus bagi peserta, Timboel menyoroti hal itu tidak diikuti dengan penambahan pendapatan iuran karena kasus-kasus fraud yang terjadi di lapangan.

"Kan mohon maaf ya, banyak kasus fraud yang dilakukan oleh masyarakat kita ini, oknum. Orang-orang yang sudah mau meninggal, didaftarin. Sebulan kemudian meninggal, dibayar Rp42 juta kan gitu. Nah itu yang menurut saya harus ada evaluasi dari BPJS Ketenagakerjaan, proses rekrutmen itu harus selektif," kata dia.

Regulasi ketiga, adalah PP Nomor 49 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Selama Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19. Beleid tersebut memberikan keringanan pembayaran iuran JKM sebesar 99% dari periode Agustus 2020 hingga Januari 2021. "Nah itu selama enam bulan, itu juga sangat mempengaruhi pendapatan iuran," tandasnya.

Saat banyak potensi pendapatan iuran JKM yang terpangkas, Timboel juga menyoroti bagaimana kenaikan iuran JKM yang sudah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian tidak pernah efektif berjalan.

"Walaupun PP [nomor] 44 mengamanatkan ada kenaikan persentase iuran, tapi kan tidak pernah dijalanin oleh pemerintah. Dari dulu sampai sekarang 0,3% terus kan gitu. Kedua, untuk yang BPU [Bukan Penerima Upah] tetap Rp16.800 minimal, Rp10.000 [untuk] JKK dan Rp6.800 JKM. Enggak pernah berubah. Padahal sumber iuran itu lah yang akan membayar klaim," tegas Timboel.

Berdasarkan laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan 2023 audited, pendapatan iuran program JKM mencapai Rp3,55 triliun sedangkan beban jaminan mencapai Rp3,21 triliun. Adapun total pendapatan tercatat Rp4,72 triliun dan total beban mencapai Rp5,38 triliun. Sehingga, Dana Jaminan Sosial (DJS) program JKM mengalami defisit tahun berjalan sebesar Rp653,31 miliar, semakin memburuk dibanding defisit tahun berjalan 2022 yang mencapai Rp32,36 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini