Bisnis.com, JAKARTA -- Industri P2P lending atau pinjaman online (pinjol) saat ini dihadapkan dengan risiko kredit macet di tengah penurunan kelas menengah.
Sekjen Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tiar N. Karlaba mengatakan dengan berkurangnya jumlah kelas menengah, daya beli masyarakat secara keseluruhan juga menurun. Hal itu menurutnya membuat banyak individu kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran kredit.
"Menghadapi tantangan ini, penerapan teknologi seperti artificial intelligence dan big data dapat membantu fintech lending dalam melakukan penilaian kredit yang lebih akurat dan efisien," kata Tiar kepada Bisnis, Rabu (4/9/2024).
Strategi lainnya, perusahaan pinjaman online juga didorong untuk menawarkan produk-produk yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini. "Misalnya, produk pinjaman dengan tenor yang lebih pendek atau produk dengan agunan," jelasnya.
Kondisi ini membuat AFPI mempertimbangkan untuk mengkoreksi target outstanding pembiayaan tahun ini yang mulanya ditargetkan tumbuh 7% dari tahun lalu.
Sementara itu, perusahaan P2P lending Modalku tahun ini tetap berharap dapat mencatatkan pertumbuhan pembiayaan dibandingkan pada 2023.
Country Head Modalku Indonesia Arthur Adisusanto menjelaskan strateginya adalah dengan selektif menyalurkan dana kepada UMKM dengan potensi pertumbuhan positif. "Kami melakukan penilaian kredit yang komprehensif untuk memastikan portofolio pendanaan tetap sehat," kata Arthur.
Selain itu, Modalku juga terus menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam menjalankan proses pendanaan sebagai bentuk strategi mitigasi risiko.
"Kami juga terus menyempurnakan kriteria penilaian kelayakan penerima dana, dengan kalibrasi berkala berdasarkan data historis penyaluran dan pembayaran kembali. Kriteria tersebut mengacu pada prinsip 5C [Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral] sesuai dengan SEOJK Nomor 19 Tahun 2023," kata dia.
Berbeda dengan AFPI dan Modalku, P2P lending Akseleran tidak terlalu ambil pusing dengan tren menurunnya kelas menengah. Group CEO & Co Founder Akseleran, Ivan Nikolas menilai tren kredit macet tidak bisa dikaitkan langsung dengan penurunan kelas menengah.
Menurutnya, kualitas kredit pinjaman online lebih dipengaruhi oleh dampak itu suku bunga Bank Indonesia. Dia menjelaskan, ketika suku bunga naik, maka bunga pinjaman akan naik juga. Hal ini menurutnya menyebabkan beban bunga dari peminjam bertambah, sehingga risiko kredit macet bisa bertambah.
Dalam tren penurunan kelas menengah ini, Ivan mengatakan pihaknya tidak menyiapkan strategi khusus. "Belum ada menyikapi secara khusus. Tentu kami terus melihat perkembangan perekonomian kita dan melakukan adjustment yang diperlukan dari waktu ke waktu terkait manajemen risiko," tegasnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan setidaknya 9,4 juta penduduk kelas menengah telah turun kasta ke kelompok aspiring middle class selama 2019 sampai dengan 2024 menjadi 47,85 juta. Secara tahunan, jumlah kelas menengah juga turun dari 2023 yang sebanyak 48,27 juta orang.
Apabila dibandingkan dengan data kredit macet di P2P lending, TWP90 per Juni 2024 mengalami penurunan menjadi 2,79% baik secara bulanan maupun tahunan. Akan tetapi, outstanding kredit macet untuk kelompok usia produktif antara 35 sampai 54 tahun naik menjadi Rp557,34 miliar per Juni 2024, dari Rp541,26 miliar pada Juni 2023 YoY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel