OPINI : Jerat Pinjol Ancaman Serius Generasi Muda

Bisnis.com,10 Sep 2024, 09:24 WIB
Penulis: Iskandar Zulkarnain
Ilustrasi bunga pinjaman online (pinjol). Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Generasi z (gen z) dan Milenial, dua kelompok usia yang menjadi pilar masa depan ekonomi, kini menghadapi tantangan serius dari layanan pinjaman online (peer-to-peer lending atau pinjol). Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa hampir 40% dari total kredit macet dari pinjol berasal dari kelompok usia 19—34 tahun.

Layanan finansial yang awalnya dimaksudkan untuk mempermudah akses ke pembiayaan justru berpotensi menjadi jeratan bagi generasi muda yang kurang memahami risiko keuangan.

Pinjaman online menawarkan akses mudah ke pembiayaan, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki akses ke layanan perbankan tradisional. Pada 2021, jumlah peminjam usia 19 hingga 34 tahun meningkat 30%, dan terus bertumbuh hingga 40% pada 2022. Pada 2023, angka ini naik lagi menjadi 45%, dengan total pinjaman mencapai Rp 200 triliun. Tren ini diperkirakan akan terus meningkat pada 2024, mencapai 50%.

Namun, peningkatan jumlah peminjam diikuti oleh lonjakan kredit macet di kalangan gen z dan milenial. Pada 2022, kredit macet naik 35%, dan pada 2023 naik menjadi 38%, dengan sekitar 45% dari kredit macet berasal dari kelompok usia 19 hingga 34 tahun. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan pada 2024 angka kredit macet dari gen z dan milenial bisa mencapai 40%.

Kredit macet ini mencerminkan kurangnya pemahaman tentang risiko finansial. Banyak gen z dan milenial yang menggunakan pinjaman untuk kebutuhan konsumtif tanpa mempertimbangkan kemampuan membayar kembali, terutama dengan bunga tinggi.

Untuk menekan angka kredit macet, OJK mendorong penerapan credit scoring yang dapat mendeteksi risiko sejak awal. Di negara maju seperti Amerika Serikat, FICO score digunakan untuk menilai kelayakan kredit, sementara di Inggris dan Kanada, Experian dan Equifax menggunakan data histori kredit, sewa, dan utilitas untuk memperluas akses kredit bagi individu yang tidak memiliki histori kredit formal.

Pengalaman negara-negara ini menunjukkan bahwa credit scoring berbasis data yang luas mampu membantu memitigasi risiko kredit macet dengan lebih baik. Hal ini memberikan panduan yang relevan bagi Indonesia untuk memperkuat ekosistem kredit digitalnya, terutama bagi generasi muda yang rentan terjebak dalam utang.

Kredit macet dari pinjol yang tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang serius. Banyak anak muda terjebak dalam utang mengalami tekanan psikologis, kehilangan aset pribadi, hingga menghadapi tindakan hukum.

Stres dan depresi akibat beban utang sering kali tidak terlihat, tetapi memiliki dampak besar terhadap kesejahteraan dan produktivitas. Selain itu, kredit macet yang tinggi juga mengurangi kepercayaan terhadap layanan fintech, yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan sektor tersebut di Indonesia.

Meskipun credit scoring penting, peningkatan literasi keuangan adalah solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan. Literasi keuangan bukan hanya tentang memahami bunga dan angsuran, tetapi juga membangun kebiasaan keuangan yang sehat, seperti pengelolaan anggaran dan investasi bijak.

Di Indonesia, upaya literasi keuangan harus melibatkan banyak pihak. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama berperan penting dalam memasukkan literasi keuangan ke dalam kurikulum sekolah dan pesantren, agar siswa dan santri di pondok pesantren sejak dini memahami pentingnya pengelolaan keuangan.

Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga berperan dalam menyebarkan informasi literasi keuangan melalui platform digital dan media sosial yang sering digunakan oleh gen z dan milenial. Kominfo dapat memfasilitasi edukasi terkait risiko pinjaman online dan pengelolaan utang yang bijak.

Sayangnya, survei OJK menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia masih rendah, khususnya di kalangan generasi muda. Akibatnya, banyak yang membuat keputusan finansial buruk, termasuk mengambil pinjaman tanpa mempertimbangkan risiko.

Perguruan tinggi juga memiliki peran signifikan dalam memperluas literasi keuangan. Melalui seminar, workshop, dan integrasi literasi keuangan dalam mata kuliah, universitas dapat menjadi pusat pengembangan wawasan keuangan bagi mahasiswa. Edukasi ini tidak hanya akan membantu mahasiswa memahami aspek-aspek keuangan, tetapi juga mempersiapkan mereka menghadapi tantangan finansial di dunia nyata, termasuk risiko pinjaman online.

Masalah kredit macet di kalangan gen z dan milenial menandakan perlunya pendekatan proaktif untuk memitigasi risiko keuangan, khususnya dalam penggunaan pinjaman online. Credit scoring dapat membantu penyedia pinjaman mendeteksi risiko sejak awal, sementara literasi keuangan yang ditingkatkan adalah solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Sebagai generasi yang akan memimpin Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, gen z dan milenial harus diberikan bekal literasi keuangan yang memadai untuk mengelola keuangan dengan baik. Kolaborasi antara pemerintah, institusi keuangan, penyedia layanan fintech, dan masyarakat, termasuk peran penting Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Kominfo, diharapkan dapat menghasilkan generasi yang tangguh secara finansial dan tidak terjebak dalam jeratan utang. (Iskandar Zulkarnaen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Novita Sari Simamora
Terkini