Bisnis.com, JAKARTA — Pakar menyebut tingginya pembiayaan dengan skema Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater perbankan dibandingkan perusahaan multifinance karena perbankan sudah punya basis nasabah yang cukup sehingga pemasarannya jauh lebih gampang dan luas.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pembiayaan BNPL perusahaan multifinance mencapai sebanyak Rp7,81 triliun per Juli 2024, yang mana naik 73,55% secara tahunan (year on year/yoy). Sementara baki debet kredit BNPL perbankan mencapai Rp18,01 triliun yang mana tumbuh 36,66% yoy.
Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan masyarakat yang sudah punya tabungan di bank, terutama bank KBMI IV, pasti akan lebih memilih BNPL dari perbankan, alih-alih dari perusahaan multifinance.
“Secara ekosistem pembiayaan jauh lebih mature dengan standar yang lebih tinggi. Penagihan yang mengikuti aturan OJK walaupun prosesnya akan lebih ketat. BNPL di perbankan pun cukup mudah diakses oleh nasabah karena masih satu aplikasi dengan aplikasi digital perbankan,” kata Huda saat dihubungi Bisnis, Selasa (10/9/2024).
Khususnya, lanjut Huda, bagi generasi milenial dan gen Z yang tidak mau ribet dan sangat adaptif dengan teknologi kemungkinan besar akan beralih. Secara keseluruhan, dengan pangsa pasar anak muda yang besar, Huda melihat potensi BNPL masih akan tumbuh, baik BNPL dari perusahaan multifinance, fintech P2P lending, ataupun dari perbankan.
Huda menyebut semuanya mempunyai peluang besar untuk bisa terus tumbuh. Namun, dia mengingatkan ketika tumbuh terlalu cepat, dapat menimbulkan risiko gagal bayar yang tinggi pula.
“Kredit macet, terutama untuk kelompok usia muda dengan platform dari platform P2P lending dan perusahaan pembiayaan, mempunyai potensi gagal bayar lebih tinggi dibandingkan di perbankan. Maka memang harus ada perbaikan dalam hal credit scoring. Ini yang paling penting,” ungkapnya.
Di sisi lain, kredit bermasalah atau non performing (NPF) gross BNPL perusahaan multifinance per Juli 2024 tercatat mencapai sebesar 2,82%. Angka tersebur turun dibandingkan pada Juni 2024 yang mana NPF gross mencapai 3,07%. Sementara, NPF BNPL perbankan lebih rendah dengan risiko kredit sebesar 2,24% per Juli 2024. Angka tersebut juga lebih rendah dari angka pada Juni 2024 sebesar 2,5%.
Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin melihat tingginya pinjaman BNPL di perbankan, lantaran perbankan dinilai lebih prudent dan lebih baik tata kelolanya. Oleh sebab itu, menurunya proses bisnis BNPL perbankan bisa lebih cepat. Tidak hanya itu, Amin mengatakan bahwa database bank lebih banyak dari nasabah existing.
“Mungkin multifinance sama sudah punya database, tetapi kalau bank ini kan mereka bisa dipisahkan ada korporasi, ada konsumer. Jadi bank sudah bisa memilah-milah. Dengan portofolio manajemen yang lebih baik, maka bank bisa membuat paylater tumbuh lebih cepat,” kata Amin kepada Bisnis pada Selasa (10/9/2024).
Di sisi lain, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman berkomentar BNPL perusahaan multifinance prospeknya masih positif ke depan, meskipun outstandingnya di bawah perbankan yang mungkin baru masuk ke bisnis paylater.
“Peluangnya tentu karena akses yang lebih mudah dan ramah teknologi, akan sangat digemari oleh masyarakat yang melek digital,” katanya kepada Bisnis, Selasa (10/9/2024).
Sementara untuk jumlah pinjaman yang lebih kecil, Agusman melihat setiap industri punya keunggulan, punya sesuatu yang bisa menjadi lebih kompetitif dari yang lain. Paylater kita ini yang di multifinance kan basisnya perusahaan pembiayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel