Bisnis.com, JAKARTA -- Survei yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023 menunjukkan bahwa persaingan pasar perusahaan asuransi umum menjadi tantangan utama yang menghambat pertumbuhan industri lembaga penjaminan dalam melakukan penjaminan kredit atau pembiayaan sebagai lini bisnis utamanya.
Kondisi tersebut diproyeksi akan menjadi tantangan utama industri penjaminan dalam lima tahun ke depan.
Dikutip dari dokumen Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri Penjaminan Indonesia 2024-2028 OJK, nilai premi asuransi kredit dan surety bond pada 2023 mencapai Rp30,76 triliun, sedangkan Imbal Jasa Penjaminan (IJP) perusahaan penjaminan hanya sebesar Rp7,92 triliun.
"Hal ini menunjukkan jika premi asuransi kredit 3,88 kali lebih besar dibanding IJP perusahaan penjaminan," tulis dokumen peta jalan tersebut, dikutip Senin (16/9/2024).
Minornya jumlah IJP dibanding nilai premi asuransi kredit dan surety bond ini sudah menjadi tren sejak 2020. Pada 2020, nilai premi asuransi kredit dan surety bond sebesar Rp23,71 triliun, dibanding IJP hanya Rp3,30 triliun.
Kemudian pada 2021, nilainya masing-masing Rp17,41 triliun dibanding Rp5,60 triliun. Lalu, pada 2022 masing-masing sebesar Rp18,02 triliun dibandingkan dengan Rp6,99 triliun.
OJK menjelaskan, di antara sekian banyak usaha penjaminan yang dapat dilakukan oleh lembaga penjamin, beberapa kegiatan usaha tersebut juga dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum. Dengan kata lain, kegiatan usaha lembaga penjamin masih tumpang tindih dengan kegiatan usaha asuransi umum.
Sebagai informasi, sejak terbitnya Undang-Undang Penjaminan perusahaan asuransi umum dianggap tidak lagi dapat memasarkan produk penjaminan atau suretyship. Namun, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2020, lini usaha suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan penjaminan dan asuransi.
Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga memperkenankan suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi. Landasan hukum asuransi umum bisa memasarkan lini usaha penjaminan/suretyship juga diperkuat dengan UU P2SK jo. POJK Nomor 20 tahun 2023.
Kondisi yang tumpang tindih antara pasar industri penjaminan dan asuransi umum ini dinilai OJK sebagai salah satu tantangan pertumbuhan industri penjaminan di Indonesia. Tertahannya laju pertumbuhan industri penjaminan bisa dilihat dari rasio outstanding penjaminan terhadap PDB Indonesia.
"Meskipun telah diperkenalkan oleh pemerintah sejak tahun 1970, peranan skema penjaminan kredit masih belum optimal jika dilihat dari rasio outstanding penjaminan terhadap PDB pada 2023 yang hanya sebesar 2,6%. Sementara negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia memiliki rasio yang lebih tinggi, yaitu sebesar 3,8% dan 51,1% pada 2022," tulis OJK.
Maka, dalam peta jalan tersebut, OJK berupaya mengembalikan kemurnian industri penjaminan dan industri asuransi sesuai karakteristik masing-masing.
Hal itu dilakukan dengan menegaskan bahwa penjaminan untuk diselenggarakan oleh perusahaan penjaminan, sehingga non-perusahaan penjaminan seperti perusahaan asuransi umum yang akan menyelenggarakan usaha penjaminan perlu membuat Unit Usaha Penjaminan (UUP), mendirikan anak usaha penjaminan, atau mengalihkan portofolio usaha penjaminannya kepada perusahaan penjaminan.
Selain itu, OJK akan mengatur agar industri penjaminan fokus pada penjaminan yang diberikan kepada debitur baik perseorangan maupun badan usaha yang unbankable, tetapi feasible.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel