Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom meyakini Bank Indonesia masih akan menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25% meski rupiah telah menuju di bawah Rp16.000, bahkan terjadi deflasi dalam empat bulan beruntun.
Ekonom Bank Danamon Indonesia Hosianna Evalita Situmorang melihat BI akan mengambil keputusan tersebut dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) besok, Rabu (18/9/2024).
Anna, sapaannya, memperkirakan penahanan BI Rate dilakukan, mengingat volatilitas rupiah yang terpantau masih tinggi. Bahkan, rupiah yang mencatatkan level tertinggi dalam setahun terakhir, kini telah terapresiasi signifikan sejak Juli 2024 hingga September.
“Namun BI perlu untuk menjaga imbal hasil yang menarik, mengingat inflow yang signifikan baru terjadi sejak Agustus 2024,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (17/9/2024).
Dirinya juga melihat sikap BI yang belum akan menurunkan suku bunga ini sebagai langkah dalam mengantisipasi penurunan Fed Fund Rate (FFR) yang akan diumumkan pada pekan ini.
Untuk itu, Anna memperkirakan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo baru akan memutuskan pemangkasan pada akhir tahun ini.
“BI Rate baru akan turun di akhir 2024, mungkin November atau Desember, mengingat domestik masih ada momen transisi dan Pilkada,” lanjutnya
Anna berpandangan untuk FFR, The Fed dapat meangkas hingga 50 basis poin di sepanjang sisa 2024. Kemudian pada dua tahun berikutnya pemangkasan masing-masing 100bps di 2025 dan 2026.
Bila FFR menuju level 3% pada tahun depan, Anna mengestimasikan BI akan menurunkan BI Rate dan menjaganya di level 5,5% pada Semetser II/2025 mendatang.
“Harapannya dengan spread BI rate dengan FFR yang menarik ini mampu menjaga kestabilan nilai tukar, seiring harapan akan akselerasi aktifitas ekonomi domestik dan global,” tutupnya.
Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyoroti tren deflasi tersebut sebagai alarm krisis ekonomi.
Dia mendorong agar otoritas kebijakan moneter tersebut segera melakukan intervensi, salah satunya dengan pemangkasan suku bunga.
"Jadi seharusnya bank sentral pemegang kebijakan moneter bisa melakukan intervensi kebijakan stabilisasi harga agar Indonesia tidak terjadi deflasi terus-terusan sehingga bisa menghindarkan dari krisis ekonomi," ujarnya beberapa hari lalu.
Pada hasil RDG bulan lalu, Perry masih enggan menurunkan BI Rate meski terbuka ruang bagi Indonesia. Menurutnya, BI masih melihat dan menunggu kondisi global.
"Kondisi global itu apa? Satu, kejelasan FFR. Kedua, tentu saja adalah bagaimana implikasi kepada suku bunga US Treasury baik yang 2 tahun maupun 10 tahun. Ketiga adalah kecenderungan mata uang dolar," jelasnya dalam penyampaian hasil RDG, Rabu (21/8/2024).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel