Bisnis.com, JAKARTA -- BPJS Watch mencatat Ketahanan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan menunjukkan tanda-tanda melemah. Beban jaminan kesehatan yang terus meningkat tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan iuran dan hasil investasi yang memadai.
Sebagai gambaran pada 2023, laporan arus kas DJS Kesehatan mencatat pendapatan iuran sebesar Rp149,60 triliun, namun jumlah tersebut tidak cukup untuk menutup pengeluaran jaminan kesehatan yang mencapai Rp157,63 triliun. Situasi ini berbanding terbalik dengan 2022, di mana iuran yang diperoleh sebesar Rp143,28 triliun mampu menutupi pengeluaran jaminan kesehatan yang hanya Rp111,84 triliun.
Padahal pemasukan DJS Kesehatan pada 2023 turut terbantu oleh penerimaan dari kontribusi pajak rokok sebesar Rp336,91 miliar. Selain itu, pendapatan investasi juga mencatatkan peningkatan signifikan, mencapai Rp5,71 triliun atau naik 97,92% dibandingkan Rp2,88 triliun pada 2022.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa masalah ketidakseimbangan antara penerimaan iuran dan pembiayaan jaminan kesehatan ini telah diprediksi sejak lama. "Meskipun ada tambahan pendapatan dari hasil investasi, denda, dan pajak rokok, ketiga hal tersebut tidak akan mampu mendukung pembiayaan sepanjang tahun," kata Timboel kepada Bisnis pada Senin (23/9/2024).
Walaupun DJS Kesehatan mencatatkan surplus tahun berjalan sebesar Rp157,22 miliar pada 2023, Timboel menekankan bahwa surplus ini hanya dapat tercapai berkat bantuan dari hasil investasi, denda rawat inap, dan pajak rokok. Namun, ia memperingatkan bahwa defisit bisa terjadi jika biaya pelayanan kesehatan terus meningkat tanpa disertai kenaikan pendapatan iuran.
Aset DJS juga mengalami penurunan signifikan. Pada Juni 2024, aset DJS turun 16,68% dibandingkan Juni 2023, akibat pencairan instrumen investasi setara kas untuk membayar biaya pelayanan kesehatan. Pelepasan investasi DJS pada 2023 mencapai Rp4,43 triliun, jauh lebih besar dari Rp1,35 triliun pada 2022. Di akhir 2023, kas dan setara kas DJS menurun menjadi Rp52,27 triliun dari Rp88,26 triliun di awal tahun.
Timboel menegaskan, data tersebut menunjukkan potensi terjadinya defisit berjalan, meskipun aset bersih JKN mungkin bisa menutupi sementara. Namun, ia memperingatkan bahwa aset bersih tidak akan mampu terus menopang kondisi ini karena akan terus berkurang. "Diperkirakan pada 2025 atau 2026 akan terjadi defisit pembiayaan jika tidak ada upaya untuk meningkatkan pendapatan DJS," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel