Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah sedang mengorkestrasi sistem baru Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Dengan KRIS, pemerintah menetapkan 12 standard yang harus dimiliki rumah sakit yang melayani program JKN.
Persiapannya pun dilakukan lintas kementerian/lembaga. Kementerian Kesehatan bertugas memastikan kesiapan 3.057 rumah sakit yang akan mengimplementasikan KRIS.
Di sisi lain, tim bersama yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), hingga Kementerian Koordinator Bidang Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bertugas menghitung penyesuaian tarif dan manfaat.
Pemerintah juga tidak punya waktu lama. Sesuai amanat Peraturan Presiden No.59 Tahun 2024, implementasi KRIS dimulai 1 Juli 2025. Artinya, sebelum tenggat waktu tersebut pemerintah harus selesai menghitung dan menetapkan tarif dan manfaat program JKN, serta memastikan semua rumah sakit memenuhi 12 standard KRIS.
Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy memberi kabar, bahwa perhitungan penyesuaian iuran JKN sudah mendekati tahap akhir. Dia memastikan besaran iuran yang ditetapkan nanti akan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan keberlangsungan keuangan BPJS Kesehatan.
Adapun, sudah 4 tahun iuran BPJS Kesehatan tidak naik. Minornya pendapatan iuran ini ditengarai menjadi penyebab klaim yang ditanggung BPJS Kesehatan jebol melebihi total pendapatan iuran. Terbaru, per Juni 2024 rasio klaim JKN atas pendapatan iuran sudah di level 107,9%, memburuk dibanding 104,7% di akhir 2023.
BPJS Kesehatan sendiri sebelumnya sudah memberi bocoran, penyesuaian iuran hanya dilakukan untuk peserta kelas I dan kelas II. Namun Muhadjir mengatakan ketika KRIS diimplementasikan, sudah tidak ada lagi pembedaan kelas.
"Kesiapan pemerintah dalam penerapan KRIS tahun depan sampai saat ini masih terus dilakukan penghitungan. Juga merampungkan kajian mengenai manfaat dengan standar kelas rawat inap yang lebih merata, tanpa ada pembedaan kelas I, II, atau III. Sehingga diharapkan bisa memberikan pelayanan yang lebih adil dan merata dan berkualitas bagi peserta BPJS Kesehatan," kata Muhadjir kepada Bisnis, Senin (23/9/2024).
Sementara itu, Ketua Komisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi DJSN Muttaqien menjelaskan kenaikan tarif iuran JKN dalam implementasi KRIS nantinya bisa menjadi salah satu solusi menjamin ketahanan DJS Kesehatan di BPJS Kesehatan.
Bukan tanpa alasan, aset DJS Kesehatan semakin tergerus imbas pencairan instrumen investasi setara kas yang digunakan untuk membayar klaim kesehatan karena pendapatan iuran saja tidak cukup membiayai klaim. Data terbaru, aset DJS pada Juni 2024 dibandingkan Juni 2023 mengalami penurunan sebesar 16,68%.
Sementara itu, pada 2023 tercatat pelepasan investasi DJS sebesar Rp4,43 triliun, lebih besar dari Rp1,35 triliun pada 2022. Hingga akhir 2023, tercatat penurunan kas dan setara kas DJS sebesar Rp35,99 triliun, sehingga kas dan setara kas DJS di akhir 2023 menjadi Rp52,27 triliun dari Rp88,26 triliun di awal 2023.
Kondisinya berbeda dengan 2022, ketika DJS mencatatkan kenaikan kas dan setara kas sebesar Rp25,14 triliun sehingga kas dan setara kas di akhir 2022 menjadi Rp88,26 triliun dibanding Rp63,12 triliun di awal 2022.
"Angka tersebut menunjukkan perlu perhatian terkait kesehatan ketahanan DJS Kesehatan ke depan. BPJS Kesehatan harus melakukan best effort untuk meningkatkan pendapatan seperti melakukan reaktifasi peserta non aktif maupun melakukan kendali mutu dan kendali biaya dari sisi pengeluaran," kata Muttaqien.
Senada dengan DJSN, BPJS Watch mendorong BPJS Kesehatan agar memperkuat ketahanan dana DJS Kesehatan. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai seharusnya saat ini iuran JKN naik. Bila itu tidak dilakukan, Timboel bahkan memprediksi defisit pembiayaan akan terjadi seperti catatan buruk di masa JKN pertama kali ada.
Berdasarkan catatan Bisnis, defisit BPJS Kesehatan pada 2014 mencapai Rp3,3 triliun, kemudian defisit Rp5,7 triliun di 2015, defisit lagi Rp9,7 triliun di 2016, lalu defisit Rp9,75 triliun di 2017, dan defisit Rp9,1 trilun di 2018, serta kembali defisit Rp15,5 triliun di 2019. Barulah kemudian pada 2020 BPJS Kesehatan sukses mencatat surplus DJS sebesar Rp18,7 triliun.
"Pada tahun 2025 atau 2026 diprediksi akan terjadi defisit pembiayaan, seperti tahun 2014-2019 bila tidak ada upaya [menaikkan] pendapatan DJS," tegas Timboel.
Sementara dari kesiapan sarana dan prasarana yang digawangi Kementerian Kesehatan, pemerintah masih punya PR membuat 741 rumah sakit naik kelas sesuai standar KRIS yang pemerintah inginkan. Sampai 20 Mei 2024, baru 2.316 rumah sakit yang sudah memenuhi 12 kriteria yang menjadi standar KRIS, dari total 3.057 rumah sakit yang akan mengimplementasikan KRIS.
Sebanyak 741 rumah sakit yang perlu naik kelas itu rinciannya adalah sebanyak 63 rumah sakit belum memenuhi seluruh 12 kriteria KRIS, 363 rumah sakit kurang 1 kriteria lagi, 43 rumah sakit kurang 2 kriteria, dan 272 rumah sakit kurang memenuhi 3 kriteria lagi.
Untuk membantu rumah sakit agar dapat memenuhi 12 kriteria sesuai standar KRIS, pemerintah juga memberikan suntikan dana. Kriterianya, untuk rumah sakit pemerintah kelas A diberikan pembiayaan tambahan sebesar Rp200-400 miliar per tahun menggunakan dana Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Kemudian, untuk rumah sakit pemerintah tipe B diberikan pembiayaan Rp50 miliar per tahun, serta untuk tipa C atau D yang belum memenuhi 8-12 kriteria dan yang berada di daerah dengan kapasitas fiskal rendah akan diberikan dana bantuan alokasi khusus (DAK) dengan nominal rata-rata Rp2,5 miliar per rumah sakit.
Sementara bagi rumah sakit swasta, meskipun tidak mendapat dukungan pendanaan langsung dari pemerintah Kementerian Kesehatan turut membantu memberikan dukungan teknis dan pendampingan dengan harapan bisa menggunakan dana mandiri Rp200-500 miliar per tahun untuk implementasi KRIS.
12 kriteria standar KRIS diatur dalam Pasal 46A ayat (1) Perpres 59/2024:
1. Komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi
2. Ventilasi udara
3. Pencahayaan ruangan
4. Kelengkapan tempat tidur
5. Nakes per tempat tidur
6. Temperatur ruangan
7. Ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi
8. Kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur (4 tempat tidur dalam 1 ruangan)
9. Tirai/partisi antar tempat tidur
10. Kamar mandi dalam ruangan rawat inap
11. Kamar mandi memenuhi standard aksesibilitas
12. Outlet oksigen
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel