Bisnis.com, JAKARTA -- BPJS Watch menyoroti kenaikan beban jaminan kesehatan akibat penyakit katastropik.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan beban jaminan kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan. Menurut Timboel, total beban jaminan kesehatan yang ditanggung Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan pada 2023 mencapai Rp158,85 triliun, naik 39,99% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp113,47 triliun.
"Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya kasus sakit, baik untuk rawat inap maupun rawat jalan, khususnya penyakit katastropik yang membutuhkan biaya besar," ujar Timboel kepada Bisnis pada Senin (23/9/2024).
Timboel menjelaskan bahwa kenaikan beban ini juga didorong oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JKN. Dalam aturan ini, pemerintah menaikkan nilai Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) dan kapitasinya, yang berimbas pada peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per kapita per bulan yang dibayar di muka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), berdasarkan jumlah peserta terdaftar. Standar tarif kapitasi untuk puskesmas ditetapkan sebesar Rp3.600-Rp9.000 per peserta per bulan, sementara untuk rumah sakit kelas D Pratama dan klinik pratama sebesar Rp9.000-Rp16.000. Adapun praktik mandiri dokter dikenakan tarif Rp8.300-Rp15.000, dan praktik mandiri dokter gigi Rp3.000-Rp4.000 per peserta per bulan.
Sementara itu, tarif INA CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap.
Selain itu, Timboel menyoroti adanya tambahan manfaat skrining yang turut mendorong kenaikan biaya pelayanan kesehatan JKN, serta masih maraknya praktik fraud yang memperberat beban biaya.
Meskipun beban klaim terus meningkat, Timboel menyatakan bahwa dari sisi pendapatan DJS belum terlihat kenaikan signifikan. Sebagian besar pendapatan berasal dari iuran segmen Peserta Penerima Upah (PPU) sektor swasta dan pemerintahan, yang naik seiring dengan kenaikan upah setiap tahun. Namun, ia menegaskan bahwa BPJS Kesehatan tidak bisa hanya bergantung pada pendapatan dari hasil investasi.
"Meskipun hasil investasi mampu menopang DJS agar tidak mengalami defisit berjalan, ini berdampak pada aset DJS yang semakin tergerus," jelasnya.
Timboel juga mengkritisi rendahnya kontribusi dari pajak rokok yang masih belum dibayar dengan baik oleh pemerintah daerah. Selain itu, potensi pendapatan dari denda pun berkurang karena Peraturan Presiden (Perpres) 59 Tahun 2024 membatasi denda hanya satu kali saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel