OPINI: Dampak Koreksi BI Rate

Bisnis.com,24 Sep 2024, 07:29 WIB
Penulis: Abdul Manap Pulungan
Karyawan berada di dekat logo Bank Indonesia di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Setelah ditahan lebih 2 tahun (Agustus 2022—Agustus 2024) akhirnya suku bunga acuan Indonesia (BI rate) diturunkan.

Mengacu pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17—18 September 2024, BI rate dikoreksi 25 basis point (bps) menjadi 6%.

Momen ini telah lama ditunggu karena pengetatan kebijakan moneter selama 25 bulan mendistorsi perekonomian. Celakanya, pengetatan bukan hanya dilakukan oleh otoritas moneter tetapi juga otoritas fiskal secara bersamaan. Hanya saja, penyerapan likuiditas oleh fiskal (mela-lui kenaikan PPN) dikembalikan lagi ke perekonomian melalui belanja.

Kontras dengan itu, pengetatan moneter menyebabkan likuiditas ngendon di bank sentral. Repotnya lagi, pengetat-an yang dilakukan Bank Indonesia dilakukan lewat dua kebijakan, baik kenaik-an suku bunga acuan maupun penyerapan likuiditas lewat instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Khusus untuk SRBI, data September menunjuk-kan, likuiditas yang diserap hampir Rp1.000 triliun. Wajar, jika likuiditas kering. Sudah banyak data yang mengonfirmasi dampak buruk dari kebijakan ketat. Data-data tersebut mewakili kondisi di sektor riil, industri, dan ekonomi masyarakat.

Dari sisi sektor riil, dampak kebijakan ketat terlihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ini menjadi muara dari berba-gai perlambatan, baik pada sisi permintaan maupun sisi penawaran (lapangan usaha). Setelah tumbuh cukup tinggi pada 2022 (karena kenaikan harga komodi-tas), pertumbuhan ekonomi tahun 2023 dan 2024 terkoreksi.

Tahun lalu, kita hanya mampu tumbuh 5,05%, seiring dengan penurunan harga komoditas. Ekonomi provinsi-pro-vinsi berbasis komoditas menurun karena hilangnya wind fall. Upaya memacu ekonomi dari sisi investasi terhalau oleh keengganan bank menyalurkan kredit. Kenaikan suku bunga acuan menyebabkan bank menaikkan suku bunga perbankan.

Hanya saja, bank menaikkan suku bunga simpanan lebih tinggi untuk mengantisipasi migrasi dana ke instrumen-instrumen bebas risiko (SRBI dan Surat Berharga Negara/SBN). Bank tidak responsif untuk menyesuaikan suku bunga pinjaman karena tetap profitable dari penempatan dana pada portofolio selain kredit.

Ekspektasi terhadap pemulihan ekonomi tahun 2024 tidak menemukan jalan. Bahkan, pertumbuhan tri-wulan I/2024 jauh dari kata ‘akselerasi’, mengingat peri-ode tersebut dibantu momen konsumsi tinggi. Momen itu, bukan hanya puasa dan leba-ran tetapi juga Pilpres dan Pileg.

Sayangnya, ekonomi hanya naik 5,11%. Situasi tersebut disebabkan oleh melemahnya dua penopang utama ekonomi nasional: konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto domestik (PMTDB). Consumption dan investment economic driven tersebut menyumbang sekitar 80% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, peran keduanya tidak maksimal karena per-tumbuhannya rendah, bahkan di bawah pertumbuhan ekonomi. Jika tumbuhnya rendah maka peranan mereka tidak maksimal. Ini bermakna bahwa kekuatan ekonomi domestik lumpuh di tengah tantangan eko-nomi global yang berat.

Idealnya, saat ekonomi glo-bal tidak kuat maka komponen ekonomi domestik seharusnya kokoh. Dengan demikian, ekonomi masih bisa tumbuh, minimal pada target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari sisi industri, data pur-chasing manager index (PMI) memberikan penjelasan kon-kret situasi yang dihadapi dunia usaha. PMI di atas 50 bermakna industri pengolah-an ekspansi, demikian seba-liknya.

Saat pandemi Covid-19, posisi PMI terendah pada Juli 2021 sebesar 40,1, meningkat menjadi 43,7 pada Agustus tahun yang sama. Sejak September 2021—Juli 2024, PMI menunjukkan ekspansi. Namun, pada Juli dan Agustus 2024, PMI berada pada level kontraksi masing-masing 49,3 dan 48,9.

Penurunan tersebut terkonfirmasi dari pertumbuhan kredit sektor industri yang cenderung melambat. April 2024, kredit industri pengolahan tumbuh 12,25% (YoY), turun ke 9,94% (YoY) pada Juni. Meski cukup tinggi, pertumbuhan kredit industri pengolahan tergolong rendah karena di bawah pertumbuh-an kredit nasional.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah penurunan distribusi kredit ke indus-tri pengolahan. Sebelum pandemi Covid-19, industri pengolahan menyerap sekitar 16,5% (2019) kredit per-bankan. Tahun 2024, industri pengolahan hanya kebagian 15,76% kredit perbankan. Angka itu terus menurun pada 2024, menjadi 15,5% pada Juni.

Perlambatan inflasi inti menjadi salah satu cerminan bagaimana daya beli masya-rakat. Agustus 2022, inflasi inti masih 3,04%. Inflasi inti masih bergerak tinggi, hingga mencapai level terkuat pada Desember 2022 sebesar 3,36%. Memasuki 2023, inflasi inti turun di bawah 3% dan mencapai level terendah pada 1,8% pada Desember.

Angka tersebut di bawah level terendah dari target Bank Indonesia 3±1%. Meski sudah diturunkan, suku bunga di Indonesia masih sangat tinggi.

Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut sangat dalam bagi perekonomian. Pertumbuhan ekonomi bergerak di bawah potensi karena melemahnya pertumbuhan konsumsi dan investasi. Dua komponen itu menjadi penopang ekonomi domestik yang harus dipacu tumbuh tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini