Rasio Klaim Asuransi Kesehatan Mengkhawatirkan, Begini Sikap OJK

Bisnis.com,29 Sep 2024, 21:00 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Foto multiple exposure warga beraktivitas di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Minggu (31/12/2023). Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA— Klaim asuransi kesehatan yang melonjak menjadi tantangan tersendiri bagi industri asuransi. 

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat rasio klaim kesehatan industri asuransi jiwa mencapai 105,7% pada semester I/2024. Hal tersebut menunjukan klaim yang dibayarkan oleh industri asuransi jiwa lebih banyak apabila dibandingkan dengan premi yang diterima. 

Pada Januari-Juni 2024, klaim kesehatan industri asuransi jiwa mencapai sebanyak Rp11,83 triliun, naik 26% secara tahunan (year on year/yoy) dari Rp9,39 triliun. Sementara itu, premi kesehatan yang diterima mencapai Rp11,19 triliun, naik 23,64% yoy.

Di sisi lain, sampai 31 Desember 2023, BPJS Kesehatan mencatat pendapatan iuran Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan mencapai Rp151,59 triliun, yang mana lebih kecil dari beban jaminan kesehatan yang mencapai Rp158,85 triliun. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap untuk menekan melonjaknya klaim asuransi kesehatan saat ini adalah dengan mendorong efisiensi layanan medis melalui protokol pemberian layanan kesehatan berbasis clinical pathways dan layanan obat berbasis medical efficacy yang memadai. 

Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila mengatakan, untuk kerja sama BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta melalui coordinate of benefit sudah ada peraturan baru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang berupaya membatasi batas maksimal biaya layanan kesehatan, yaitu dua kali tarif INACBGs. 

“Saat ini kami sedang mengupayakan bagaimana BPJS Kesehatan dan perusahaan asuransi dapat memastikan batasan ini dapat dilaksanakan,” kata Iwan saat dihubungi Bisnis, pada Minggu (29/9/2024). 

Iwan mengungkap bahwa industri asuransi kesehatan cukup kompleks karena melibatkan banyak pihak dalam ekosistemnya. Dia menyebut, asuransi harus dapat memastikan segmen market yang disasar dengan identifikasi, kuantifikasi, dan seleksi risiko yang memadai dan akurat. Ketidakmampuan melakukan salah satu aspek ini akan menyebabkan perusahaan terekspos dengan profitability yang tidak memadai. 

Di sisi lain, perusahaan asuransi harus dapat mengupayakan akses data digital yang memadai ke SIM fasilitas kesehatan untuk dapat melakukan utilization review bersama rekanan rumah sakit dan klinik, sebagai upaya untuk mendorong efisiensi melalui pelaksanaan protokol layanan medis berbasis clinical pathways dan protokol layanan obat berbasis medical efficacy yang memadai. 

“Perusahaan asuransi juga harus dapat merencanakan fitur produk yang memberi manfaat kepada masyarakat dalam kerangka yang efisien dan melakukan proses underwriting yang memadai untuk memastikan pengelolaan risiko yang memadai,” kata Iwan. 

Tidak hanya sampai disitu, Iwan menyebut, perusahaan asuransi harus berupaya mengoptimalkan peran seluruh bagian dalam ekosistem kesehatan, termasuk mengoptimalkan kerja sama manfaat bersama penyedia perlindungan asuransi kesehatan seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan PT Jasa Raharja sehingga masyarakat dapat dilindungi dari setiap risiko dengan sharing pembiayaan sesuai proteksi yang dimiliki.  

Iwan melanjutkan, produk-produk yang hanya melihat batas tahunan tanpa porsi tanggungan sendiri dan hospital cash plan yang besar menjadi sasaran empuk penyalahgunaan pemanfaatan layanan kesehatan secara berlebihan. 

Selain itu, dia menyebut, perusahaan asuransi juga harus proaktif menyosialisasikan pola hidup sehat kepada seluruh pemegang polis dan masyarakat agar masyarakat lebih sehat dan meminimalkan biaya kesehatan pada usia produktif. 

Iwan mengatakan, OJK bekerjasama dengan Kemenkes terus berupaya untuk menciptakan ekosistem yang lebih sehat dengan mendorong penerapan pengelolaan risiko yang memadai melalui pelaksanaan utilization review dengan rumah sakit dan klinik rekanan, dalam upaya melakukan efisiensi biaya kesehatan dalam jangka panjang. 

OJK juga mendorong pembentukan Medical Advisory Board (MAB) di beberapa perusahaan untuk memberikan masukan ahli atas layanan kompleks yang diberikan rumah sakit rekanan kepada pasien. 

“Harapannya MAB ini dapat mendorong penerapan protokol layanan medis berbasis clinical pathways dan layanan obat berbasis medical efficacy yang memadai,” ungkapnya. 

OJK juga mendorong pembentukan database dalam rangka risk rating yang memungkinkan perusahaan asuransi untuk memiliki feasibility atas risiko yang di-cover sekaligus juga sebagai upaya untuk mengurangi dampak signifikan dari fraud yang dilakukan oleh distributor maupun peserta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Denis Riantiza Meilanova
Terkini