Daya Beli Turun, OJK Wanti-Wanti Jebakan Pinjol Ilegal

Bisnis.com,05 Okt 2024, 16:52 WIB
Penulis: Arlina Laras
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi./Bisnis-Suselo Jati

Bisnis.com, BALIKPAPAN – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan penurunan daya beli masyarakat telah berdampak pada peningkatan permintaan pinjaman.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengatakan dengan kondisi ekonomi yang sulit membuat masyarakat kerap mengajukan pinjaman sebagai solusi jangka pendek. Tak hanya itu, situasi sulit ini juga dimanfaatkan oleh para pelaku penipuan.

“Iya, kemarin kan misalnya banyak PHK tuh ya. Walaupun angkanya masih arguable ya, tapi itu kemudian banyak modus-modus yang nawarin kerja-kerja. Jadi orang yang sudah jatuh tertimpa tangga gitu,” kata Friderica dalam agenda Like It di Pentacity & E-Walk Mall Balikpapan, Sabtu (5/10/2024). 

Menurutnya, salah satu modus penipuan yang sering terjadi adalah penawaran pekerjaan paruh waktu dengan iming-iming pembayaran awal. Namun, setelah mendapatkan uang awal, korban diminta untuk menambah atau "top-up" lebih banyak uang. 

Lebih lanjut, dengan fenomena yang ada, berdasarkan data pinjaman dari platform peer-to-peer (P2P) lending peningkatan sendiri terjadi pada pinjaman konsumtif, bukan produktif.

“Padahal kita kan dorong supaya dia bisa masuknya produktif gitu [bukan konsumtif]. Nah itu kita harus cermati supaya masyarakat ini enggak makin tergulung [utang]. Kalau mereka udah susah, enggak punya penghasilan, malah mereka ngajuin pinjaman,” ungkapnya.

Di sisi lain, Kiki menuturkan jika seseorang sudah terlanjur mengambil pinjaman legal dan menghadapi kesulitan dalam membayar, mereka masih bisa mengajukan restrukturisasi berupa keringanan seperti penundaan pembayaran bunga atau pokok pinjaman.

Justru yang membahayakan jika masyarakat terjebak dalam pinjol ilegal. Pasalnya, pinjol ilegal seringkali menggunakan metode penagihan yang tidak manusiawi, termasuk ancaman dan tindakan mempermalukan konsumen untuk memaksa mereka membayar utangnya.

Sebelumnya, Center of Reform on Economics (Core) Indonesia meyakini bahwa deflasi lima bulan terakhir secara berurut-turut terjadi karena penurunan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. 

Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan bahwa deflasi selama berbulan-bulan hanya terjadi ketika ada krisis atau kondisi ekonomi yang sedang tidak baik. Deflasi berbulan-bulan, sambungnya, merupakan anomali dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di atas 5%. 

"Deflasi lima bulan berurut-urut itu mengkhawatirkan menurut saya, karena kalau dalam kondisi normal ini tidak terjadi untuk negara dengan tingkat pertumbuhan seperti di Indonesia yang 5%," ujar Faisal kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024). 

Adapun, Badan Pusat Statistik mencatat deflasi dalam lima bulan terakhir yaitu pada Mei (0,03%), Juni (0,08%), Juli (0,18%), dan Agustus (0,03%) dan September (0,12%). 

Dia menjelaskan, notabenenya deflasi terjadi karena lemahnya tingkat permintaan. Dalam konteks Indonesia belakangan, dia meyakini pendapatan masyarakat melemah. 

Menurutnya, pendapatan masyarakat saat ini lebih rendah dibandingkan pra pandemi. Selain itu, banyak orang yang belum bisa kembali bekerja usai terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) saat masa pandemi. 

"Ini mempengaruhi dari tingkat spending mereka sehingga spending itu relatif melemah terutama untuk kalangan yang menengah dan bawah," jelas Faisal. 

Dia pun mengingatkan, kelas menengah merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi terutama karena menjadi kelompok penduduk yang mengontrobusikan konsumsi terbesar. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menjadi kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

Oleh sebab itu, jika konsumsi kelas menengah melemah maka perekonomian juga tidak akan bergerak seperti pelemahan industri manufaktur dan sektor jasa-jasa. 

"Ini yang perlu menjadi catatan. Artinya perlu menyikapi secara tepat kondisi ini, insentif bukan hanya dalam hal pelonggaran moneter tapi juga kebijakan insentif di fiskal dan di sektor riil," kata Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fitri Sartina Dewi
Terkini