Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan perbankan menilai deflasi lima bulan beruntun tidak serta merta membuat kinerja bisnis bank terdampak. Pasalnya, demi capaian kinerja yang solid membuat perusahaan harus berupaya menjaga kualitas kredit.
Berdasarkan data, Badan Pusat Statistik mencatat deflasi dalam lima bulan terakhir yaitu pada Mei (0,03%), Juni (0,08%), Juli (0,18%), Agustus (0,03%), dan September (0,12%).
Direktur Human Capital and Compliance PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Mucharom mengatakan dengan pipeline manajemen yang baik membuat pertumbuhan kredit BNI masih tetap berjalan.
“Kita sih optimis, kalau nanti kalau pemerintahan baru, [yang sebenarnya membuat] investor menunggu-nunggu kan. Kita yakin sih, akhir tahun pasti udah mulai tumbuh lagi,” ujarnya kepada Bisnis di Balikpapan, Sabtu (5/10/2024).
Keyakinannya ini juga didasarkan pada sejumlah daerah yang memiliki komoditas seperti sawit dan batu bara masih menunjukkan pertumbuhan.
Dia menyebut di segmen korporasi, top-tier clients masih menunjukkan pertumbuhan positif. Tak hanya itu, segmen konsumer yang merupakan bagian dari rantai pasok korporasi juga masih terus bertumbuh.
Perseroan pun masih memegang target pertumbuhan kredit sebesar 9%-11% hingga akhir tahun 2024. Dalam upayanya mencapai target tersebut, perusahaan terus menjalankan prudential practices.
Adapun, penerapan traffic light system di internal, di mana alokasi kredit di setiap sektor dipantau secara berkala terus dilakukan BNI sebagai usahanya dalam menjaga kualitas kredit.
“Jadi, mungkin di beberapa daerah yang sudah traffic light system-nya kuning atau merah, kita switch ke yang masih hijau, kayak gitu. Tapi kalau yang spesifik [sektor kita hindari] enggak ada. Kita selalu ngelihat potensi dari masing-masing daerah,” ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Hubungan Kelembagaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Rohan Hafas mengatakan meskipun kondisi deflasi membuat situasi bisnis menjadi sedikit menantang, akan tetapi kinerja Bank Mandiri tetap sejalan dengan target dan rencana yang telah ditetapkan.
“Jadi buat kami memang deflasi itu ada, tetapi bagaimana menyiasatinya dan strategi apa yang dilakukan. Jadi insya Allah kami sesuai on track,” ujarnya kepada Bisnis.
Lebih lanjut, dalam kondisi deflasi, kata Rohan, Bank Mandiri pun akan lebih selektif pada beberapa sektor yang dinilai masih belum pulih.
Nasabah mengambil uang di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Mandiri di Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Hal ini seolah sempat diamini oleh Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Eka Fitria yang mengatakan bahwa Bank Mandiri telah mengidentifikasi dan mengkurasi sektor-sektor ekonomi secara selektif.
Dia juga menegaskan perseroan tidak hanya berfokus pada satu atau dua sektor tertentu, akan tetapi mereka menargetkan sektor-sektor yang memiliki potensi kuat berdasarkan kualitas manajemen perusahaan serta proyek atau investasi yang telah dikurasi dengan cermat.
Adapun, setiap wilayah di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, perseroan sudah mengidentifikasi soal sektor-sektor mana yang kuat di setiap daerah tersebut.
Secara terpisah, Center of Reform on Economics (Core) Indonesia sendiri meyakini bahwa deflasi lima bulan terakhir secara berurut-turut terjadi karena penurunan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah.
Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan bahwa deflasi selama berbulan-bulan hanya terjadi ketika ada krisis atau kondisi ekonomi yang sedang tidak baik. Deflasi berbulan-bulan, sambungnya, merupakan anomali dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di atas 5%.
"Deflasi lima bulan berurut-urut itu mengkhawatirkan menurut saya, karena kalau dalam kondisi normal ini tidak terjadi untuk negara dengan tingkat pertumbuhan seperti di Indonesia yang 5%," ujar Faisal kepada Bisnis, Selasa (1/10/2024).
Dia menjelaskan, notabenenya deflasi terjadi karena lemahnya tingkat permintaan. Dalam konteks Indonesia belakangan, dia meyakini pendapatan masyarakat melemah.
Menurutnya, pendapatan masyarakat saat ini lebih rendah dibandingkan prapandemi. Selain itu, banyak orang yang belum bisa kembali bekerja usai terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) saat masa pandemi.
"Ini mempengaruhi dari tingkat spending mereka sehingga, spending itu relatif melemah terutama untuk kalangan yang menengah dan bawah," jelas Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel