Kata Aftech Soal Moratorium Pendirian Pinjol Belum Dicabut

Bisnis.com,09 Okt 2024, 00:55 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Ilustrasi fintech. /Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menilai moratorium perizinan  baru untuk fintech peer to peer lending merupakan upaya menata industri oleh regulator. 

Abynprima Rizki, Director of Marketing, Communication, and Community Development Aftech menyebut moratorium merupakan respons atas berbagai permasalahan yang muncul di industri ini. 

“Dari [perusahaan fintech] yang legal saja kami masih banyak menghadapi berbagai macam masalah. Mulai adanya pinjaman online [pinjol] ilegal, hingga NPL [Non Performing Loan] yang masih tinggi,” kata Abynprima pada Selasa (8/10/2024). 

Permasalahan lain yang membuat moratorium dipertahankan regulator yakni edukasi terhadap konsumen. “Tingginya penggunaan fintech lending tidak diimbangi dengan edukasi yang cukup, dan inilah yang memicu berbagai permasalahan. Regulator, menurut saya, memiliki pandangan untuk menekan dulu pertumbuhan ini agar industri bisa lebih sehat dan terkelola dengan baik,” kata Abynprima.

Dia juga menyoroti bahwa industri fintech lending di Indonesia masih berada pada tahap perkembangan yang signifikan. “P2P lending ini ibarat produk keuangan yang dulu masih ‘bayi,’ tapi sekarang sudah dipaksa untuk jadi dewasa karena tingginya permintaan dari konsumen di Indonesia,” katanya.

Namun, dia menekankan bahwa lonjakan permintaan tersebut belum diikuti dengan perbaikan fundamental dalam industri. Hal ini menciptakan beberapa kendala yang perlu diatasi sebelum moratorium dapat dicabut. 

“Masih banyak masalah fundamental yang harus diperbaiki, termasuk governance dari beberapa perusahaan yang perlu ditingkatkan. Selain itu, masih banyak isu terkait governance secara umum di sektor ini,” ungkapnya.

Terkait keputusan regulator yang mempertahankan moratorium, Abynprima berpendapat bahwa hal ini juga bertujuan untuk mendorong persaingan yang lebih sehat di antara para pemain fintech. Menurutnya, regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi adalah perusahaan yang bertanggung jawab. Konsolidasi internal juga diperlukan untuk memperbaiki model bisnis dan governance di sektor ini. 

Dia menambahkan bahwa pada awal perkembangan fintech lending, terlalu banyak pemain yang masuk tanpa regulasi yang memadai. 

“Waktu itu memang hype sekali, jadi siapapun yang mendaftar langsung bisa beroperasi. Hal ini kemudian menciptakan ketidakstabilan, dan sekarang regulator melakukan pembatasan untuk mencegah hal serupa terjadi lagi,” kata Abynprima.

Abynprima menegaskan bahwa meski moratorium ini masih berlangsung, hal ini bukan berarti regulator menghambat pertumbuhan industri fintech. Menurut dia, regulator hanya ingin memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi memiliki pondasi yang kuat dan mampu bersaing secara sehat. 

“Ini juga memberi waktu bagi industri untuk berbenah dan memperbaiki kendala-kendala yang ada, sehingga fintech lending di Indonesia bisa terus berkembang dengan lebih bertanggung jawab,” tutupnya.

Pada September 2023, OJK berencana mencabut moratorium izin fintech lending. Namun hingga saat ini pencabutan moratorium izin fintech lending tersebut belum dilakukan. Regulator masih mengevaluasi kinerja industri fintech P2P lending, serta memperhatikan kesiapan infrastruktur data dan pengawasan di OJK. 

Dari sisi kinerja, OJK mencatat outstanding pembiayaan fintech lending pada Agustus 2024 tumbuh 35,62% secara tahunan (year on year/yoy) dengan nominal sebesar Rp72,03 triliun. Tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) dalam kondisi terjaga di posisi 2,38%. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggara Pernando
Terkini