Bisnis.com, NUSA DUA — Pasar asuransi global dan nasional tengah menghadapi tantangan besar dengan hadirnya berbagai badai besar, seperti badai Helen dan Milton, yang mungkin dapat mengakibatkan ketidakpastian dalam industri.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, mengatakan salah satu fokus utama industri saat ini adalah apakah kondisi hardening market atau pasar yang menegang masih akan berlanjut hingga 2025, atau apakah pasar akan kembali ke kondisi normal.
Hardening market merupakan situasi di mana premi asuransi meningkat dan kapasitas risiko menjadi lebih terbatas, sering kali terjadi setelah bencana besar atau kerugian yang signifikan. Namun, Budi optimistis pasar mungkin akan mulai melunak, meskipun beberapa batasan dari perusahaan reasuransi tetap ada.
“Saya pikir temen-temen pada puas kok bertemu dengan perusahaan reasuransi dari luar, dari dalam melihat kondisi untuk tahun 2025, kalau prediksi saya sih seharusnya tidak pada posisi market yang hardening lagi,” kata Budi ditemui di sela-sela acara Indonesia Rendezvous 2024 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada Kamis (10/10/2024).
Namun demikian, Budi menyebut bahwa kemungkinan masih ada batasan-batasan yang akan diterapkan oleh perusahaan reasuransi dalam negeri yang masuk dalam Indonesian Placement Risk (IPR).
Dia menekankan bahwa pricing atau penentuan harga dalam reasuransi treaty dan non-proportional reasuransi kemungkinan besar akan tetap sama, meskipun hasil akhirnya sangat bergantung pada hasil dari masing-masing perusahaan reasuransi.
Beberapa sektor seperti properti, engineering, dan marine hull diprediksi masih akan menghadapi batasan-batasan, tetapi Budi berharap pasar di sektor-sektor ini bisa sedikit melunak. Budi juga menyinggung tentang sektor asuransi kesehatan dan kredit, dua bidang yang mengalami tantangan signifikan.
Asuransi kesehatan, menurutnya, sudah berada dalam posisi sulit dengan loss ratio (rasio kerugian) mencapai angka di atas 140%. Ini berarti jumlah klaim yang dibayarkan jauh lebih besar dari premi yang dikumpulkan, menandakan adanya tekanan besar pada sektor tersebut.
Sementara untuk asuransi kredit, Budi mengatakan bahwa industri asuransi sudah menemukan jawaban dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah dan Produk Suretyship atau Suretyship Syariah yang telah diterbitkan tahun lalu. Di sana ada perbaikan asuransi kredit melalui resharing dengan pihak perbankan.
Dia menambahkan pembatasan biaya akuisisi juga menjadi perhatian. Di sektor kendaraan bermotor, ada tantangan tambahan terkait dengan penurunan penjualan, yang diperburuk oleh masalah daftar hitam di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), terutama karena banyak orang terjebak dalam pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol).
“Ini tantangan lagi bagi industri, perasuransian, dan tentunya regulator dalam POJK juga bagaimana bisa ke depannya lebih menekan masyarakat itu menggunakan pinjaman online maupun judi online, pinjaman online yang digunakan untuk judi online Ini PR pemerintahan baru juga,” katanya.
Budi menyampaikan harapannya bahwa dengan kebijakan yang tepat, pasar asuransi di Indonesia akan mengalami perbaikan. Dia percaya bahwa prospek pasar internasional di Indonesia masih cukup baik, meskipun beberapa sektor menghadapi tekanan berat. Di sisi lain, kebijakan dari regulator, seperti OJK, akan sangat berpengaruh dalam membantu industri keluar dari kondisi sulit ini.
“Pasar internasional melihat prospek yang bagus di Indonesia, terutama untuk beberapa loss ratio. Dengan POJK baru, kita harap ada perbaikan yang signifikan. Namun, industri tetap harus siap menghadapi berbagai tantangan ke depan,” ungkap Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel