OJK Bicara Perluasan Asuransi Bencana Menjadi Asuransi Wajib

Bisnis.com,11 Okt 2024, 19:45 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila dalam konferensi pers Indonesia Rendezvous 2024 di Nusa Dua, Bali pada Kamis (10/10/2024)./Bisnis-Pernita Hestin Untari

Bisnis.com, NUSA DUA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa pengaturan terkait dengan asuransi wajib Third Party Liability (TPL) sebagai turunan dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP). 

Termasuk soal asuransi bencana sebagai asuransi wajib, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila masih belum bisa memberikan kepastiannya.

Menurutnya penerapan asuransi wajib membutuhkan regulasi yang jelas agar bisa diimplementasikan secara efektif.

“Untuk TPL, kami memang masih menunggu PP, Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari undang-undang P2SK. Jadi memang bagaimana scope-nya itu seperti apa, itu akan dituangkan di PP. Jadi setelah itu memang baru kemudian nanti kami akan memastikan bahwa itu bisa diimplementasikan,” kata Iwan dalam konferensi pers Indonesia Rendezvous 2024 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada Kamis (10/10/2024).

Iwan menjelaskan untuk asuransi bencana, pemerintah sudah memiliki inisiatif dengan pengembangan sistem pembiayaan risiko bencana melalui Disaster Risk Financing Insurance (DRFI).

Dia menyebut inisiatif tersebut sudah berjalan beberapa tahun dan menjadi kerangka kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menghadapi risiko bencana seperti gempa bumi, banjir, dan lainnya. 

DRFI memanfaatkan dana pooling yang sebagian besar didukung oleh pemerintah, dengan tujuan melindungi aset negara serta memberikan perlindungan yang lebih luas dalam menghadapi risiko bencana.

“Sekarang pemerintah mulai mengasuransikan gedung-gedung miliknya. Selain itu, kami memiliki pooling fund bencana yang terus dikembangkan. Saat ini dananya sekitar Rp7 triliun, dan targetnya akan ditingkatkan menjadi Rp40 triliun dalam beberapa tahun ke depan,” kata Iwan.

Meski begitu, jumlah dana tersebut masih dinilai kurang untuk menutupi kerugian akibat bencana besar. Misalnya, gempa di Aceh yang menelan biaya sekitar Rp41 triliun.

Oleh karena itu, DRFI dirancang tidak hanya untuk menutupi kerugian material, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong mitigasi risiko lebih dini. Pengelolaan data potensi bencana, khususnya gempa bumi, juga menjadi prioritas.

Menurut Iwan, data ini penting untuk mengetahui lokasi-lokasi rawan bencana sehingga mitigasi dapat dilakukan dengan lebih tepat.

“Kita sudah punya data potensi gempa di seluruh Indonesia, dan ini membantu dalam mengidentifikasi area yang paling berisiko. Dengan begitu, kita bisa membangun kesadaran masyarakat dan menerapkan mitigasi yang lebih efektif, seperti membangun rumah tahan gempa,” jelasnya.

Namun, tantangan terbesar adalah masyarakat yang tinggal di zona merah, di mana meskipun mereka sadar akan risiko, tidak mudah bagi mereka untuk pindah ke lokasi yang lebih aman. 

Untuk menghadapi risiko besar, terutama yang tidak dapat ditanggung oleh asuransi nasional, Iwan menyebut pentingnya kolaborasi dengan reasuransi internasional. 

Menurutnya, bagian dari risiko yang tidak bisa di-cover oleh industri dalam negeri memerlukan bantuan reasuransi luar negeri. 

Namun, ada pula risiko yang sangat besar dan tidak dapat diasuransikan sama sekali, yang menjadi tanggung jawab pemerintah. 

“Tapi ada bagian paling atas, teman-teman, itu adalah bagian-bagian yang berisiko yang tidak bisa diasuransikan. Nah ini tanggung jawab pemerintah. Nah pertanyaannya bagaimana memitigasi risiko yang atas ini, ini yang sekarang dengan adanya DRFI,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Thomas Mola
Terkini