Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) dan Asosiasi Fintech Pembiayaan Indonesia (AFPI) memberi penjelasan soal outstanding lender perorangan mengalami kontraksi per Agustus 2024.
Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya menjelaskan kondisi itu merupakan bagian dari proses dan dinamika perkembangan sebuah bisnis yang belum lama beroperasi di Indonesia.
"Memang kalau bicara penurunan kita bisa lihat dari prespektif lain yaitu pendewasaan," kata Ronald saat ditemui di kantor OJK Jakarta, Senin (4/11/2024).
Seperti diketahui, lahirnya P2P lending di Indonesia dimulai dari diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Nomor 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang diteken 28 Desember 2016. Bahkan, Ronald mengatakan industri P2P lending benar-benar baru mendapat izin beroperasi pada 2017 karena ketentuan regulasi tersebut.
"Jadi masih banyak yang dinamis. Industri ini terus mengalami pendewasaan. Kami penyelengara juga makin lama makin dewasa, oh ini risikonya semakin banyak yang harus kamu hindari. Dari regulator juga semakin kaya pengetahuannya, ini regulasi yang baik seperti apa untuk melindungi masyarakat dan melindungi penyelnggara juga," kata Ronald.
Ronald juga mengatakan apa yang terjadi di dalam sebuah bisnis P2P lending ini tidak lepas dari faktor makro ekonomi.
"Jadi kalau sektor riil sedang turun otomatis penyaluran mungkin akan turun. Tapi hati-hati, jangan sampai dana masyarakat juga mengalami kerugian karena kurang hati-hati. Saya pikir ini semua adalah siklus. Semua bisnis ada siklusnya," pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal AFPI Tiar Karbala mengaku dirinya belum tahu pasti penyebab penurunan outstanding pinjaman lender perorangan dan IKNB kepada P2P lending turun.
Namun, dia memastikan AFPI selalu memastikan anggotanya selalu menerapkan prinsip governance, risk management and compliance (GRC/ tata kelola, risiko dan kepatuhan) seperti yang diamanatkan Otoritas Jasa Keuangan kepada semua penyelenggara P2P lending.
Tata kelola yang dimaksud adalah mulai dari struktur perusahaan, struktur pendanaan, struktur komisaris dan direksi, semuanya harus melalui tahap sertifikasi sesuai peraturan berlaku.
Sementara untuk risiko, adalah berkaitan dengan upaya P2P lending memitigasi semua risiko yang berpotensi muncul di kemudian hari. Terakhir soal kepatuhan adalah P2P lending harus patuh dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini OJK.
"Adapun kalau pertanyaannya kenapa bisa seperti ini [oustanding lender turun], sebetulnya saya tidak punya data yang akurat yang bisa point out. Tapi dari kami AFPI, asosiasi yang menaungi para P2P lending, itu kami selalu tekankan tolong GRC-nya benerin. Kami lakukan pemantauan berkala. Kami lakukan visit ke platform-platform kami. Artinya itu jadi sebuah penekanan utama kepada para anggota kami," pungkas Tiar.
Adapun outstanding lender perorangan dalam negeri per Agustus 2024 tercatat sebesar Rp5,24 triliun. Outstanding tersebut mengalami kontraksi 14,23% year to date (ytd) dibanding Rp6,10 triliun pada Januari 2024.
Di saat yang sama, outstanding dari asuransi ataupun industri keuangan non bank lainnya per Agustus 2024 sebesar Rp1,14 triliun. Angka tersebut secara bulanan turun 1,8% mtm dan secara tahunan juga turun 2% yoy. Bahkan dibanding Januari 2024, outstanding tersebut mengalami koreksi 23,8% ytd.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel