Anggota DPR Minta BPJS Kesehatan Hati-Hati soal Kenaikan Iuran

Bisnis.com,13 Nov 2024, 21:05 WIB
Penulis: Pernita Hestin Untari
Karyawan di salah satu berada kantor cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jakarta, Selasa (12/7/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyoroti ancaman defisit yang dihadapi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, serta potensi kenaikan iuran sebagai langkah untuk mengatasi masalah tersebut.

Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyatakan bahwa isu kenaikan iuran merupakan hal yang sensitif, sehingga meminta BPJS Kesehatan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan tersebut.

“Saya kira harus hati-hati [terkait kenaikan iuran], apalagi pak Prabowo baru saja memimpin. Isu kenaikan iuran ini tentu sangat sensitif, terutama bagi peserta mandiri,” kata Edy.

Edy pun mengakui bahwa kenaikan iuran tersebut mungkin memang tak terhindarkan karena telah diatur dalam regulasi dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir pada 2020. Kemudian aturan juga menyebutkan bahwa kenaikan iuran seharusnya dievaluasi selama dua tahun sekali. 

“Saya kira hal-hal ini niscaya, tapi terkait dengan pernyataan kenaikan iuran ini perlu hati-hati,” imbuh Edy. 

Sebelum terjadi kenaikan iuran, Edy menyarankan beberapa opsi yang dapat menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan. Pertama adalah pengelolaan mitigasi risiko yang lebih baik.

Dia menyinggung terkait dengan peserta pekerja penerima upah (PPU) yang 35% di antaranya justru menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Apabila hal tersebut benar, maka terjadi fraud. Oleh sebab itu, Edy meminta BPJS Kesehatan turut mengatasi permasalahan fraud tersebut. 

“Dari situ seharusnya kita bisa mendapatkan pemasukan untuk mengurangi Rp20 triliun [potensi defisit],” kata Edy. 

Edy juga meminta BPJS Kesehatan untuk mengoptimalkan segmen PPU. Dia menyoroti bahwa ada potensi 50 juta pekerja yang dapat menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan potensi penerimaan Rp90 triliun. 

“Dengan pendapatan per bulan Rp3 juta kali 5% lalu kali 12% jadi potensi PPU itu Rp90 triliun. Itu tiga kali lipat dari pendapatan PPU sekarang yang hanya Rp30 triliun. Artinya ada celah untuk meningkatkan pendapatan dari sektor PPU,” katanya. 

Kemudian, Edy juga menyoroti temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan fraud klaim yang mencapai sebanyak Rp20 triliun.

Dia meminta BPJS Kesehatan dan Pemerintah tegas untuk memberantas hal tersebut. Terlebih praktik-praktik yang merugikan di lapangan, seperti klaim ganda atau pemalsuan kuitansi berdampak pada pembengkakan biaya.

Lebih lanjut, Edy juga menyarankan supaya data klaim BPJS Kesehatan dicocokkan dengan data asuransi kesehatan swasta, yang bisa memberikan gambaran lebih akurat terkait kasus-kasus fraud.

“Sebetulnya, datanya sudah terang benderang. Persoalannya, apakah pemerintah mau menangani fraud ini secara tegas agar kenaikan iuran tidak perlu terjadi,” kata Edy. 

Edy juga menyoroti tunggakan pembayaran iuran yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Dia menyinggung ada sekitar 49 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang menunggak, ditambah 14 juta peserta mandiri yang juga menunggak. 

“Jika iuran dinaikkan, ada risiko 14 juta peserta ini keluar dari kepesertaan BPJS Kesehatan. Hal ini tentu berpotensi menambah beban ekonomi bagi mereka yang sudah kesulitan,” katanya.

Edy mengusulkan agar pemerintah melakukan intervensi khusus bagi peserta mandiri yang benar-benar kesulitan membayar iuran. “Mungkin bisa dipertimbangkan untuk memberikan diskon atau penghapusan iuran bagi yang tidak mampu, sehingga sebelum ada kenaikan iuran, peserta yang kesulitan sudah diberikan perlakuan khusus,” tambahnya.

Sementara itu, anggota Komisi IX lainnya, Indah Kurnia, menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana BPJS Kesehatan.

Dia mempertanyakan di mana dana yang terkumpul ditempatkan, apakah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN), deposito, reksa dana, atau instrumen pasar uang lainnya. Menurutnya, kejelasan ini penting untuk memastikan bahwa dana dikelola dengan aman dan tidak berisiko tinggi.

“Dalam kondisi defisit ini, kita perlu mengetahui bagaimana dana ditempatkan, apakah dalam instrumen yang aman atau berisiko tinggi. Hal ini untuk memastikan bahwa pengelolaan dana tidak mengarah pada keputusan yang salah atau mengandung fraud,” kata Indah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

  1. 1
  2. 2
Tampilkan semua
Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini